Minggu, 21 Desember 2008

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENJAMIN TIDAK MEMERIKSA WAJIB PAJAK YANG SUNSET POLICY

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak DR Darmin Nasution menjamin aparatnya tidak akan memeriksa pajak WP dalam laporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan yang memanfaatkan sunset policy.
“Kami juga tidak akan mengutak-atik pajak WP tersebut. Jadi sayang sekali kalau sunset policy ini tidak dimanfaatkan,” kata Darmin.
Dirjen Pajak memaparkan masalah perpajakan khususnya pemanfaatan sunset policy pajak di Tiara Convention Center Medan Rabu [17/12 ] sore (pukul 14.00-16.00 WIB).
Dihadapan ratusan peserta wajib pajak, Dirjen dalam dialog ‘Sunset Policy tahun 2008 dan UU Pajak Penghasilan (PPh)’ didampingi Direktur PPh Sumihar Petrus Tambunan, Kakanwil Ditjen Pajak Sumut I Ramram Brahmana dan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut II Zulfikar dan Kakanwil Ditjen Pajak NAD.
Darmin menegaskan di era reformasi birokrasi sekarang tidak mudah main-main dengan aparat Pajak dan hindarilah itu. Sebab kalaupun ada permainan pajak pasti lambat laun akan ketahuan juga dan sanksinya sangat berat baik terhadap wajib pajak (WP) maupun aparat pajak.
Ia menjelaskan reformasi perpajakan sejak tahun 2006 berarti merombak Ditjen Pajak dari dalam, melakukan perbaikan seperti struktur perpajakan, prosedur dan bisnis proses p;elayanan dan penggunaan UU bidang perpajakan.
Juga memperbaiki supporting (program kerja, kualitas SDM karyawan yang tidak bisa cepat). Perbaikan gaji pegawai Ditjen Pajak di mana gajinya tidak di bawah gaji perusahaan menengah sehingga pegawai bisa hidup tenang dan layak.
Reformasi jilid II berakhir bersamaan dengan berakhirnya sunset policy pada 31 Desember 2008. Reformasi membedakan fungsi petugas melayani, memeriksa dan ekstensifikasi. Jadi mengurangi satu faktor yang sering disalahgunakan.
Dalam reformasi ini, kata Dirjen, bila aparat pajak dan WP saling bekerjasama maka lama-lama akan ketahuan dan akhirnya WP kena denda sedikitnya 400 persen. Sekarang kita beri kesempatan kepada WP untuk memperbaikinya. Inilah makanya dibuat sunset policy supaya ada waktu bagi wp untuk membetulkan semua syarat-syaratnya.
Menurut Darmin, kita masih ketinggalan dalam pengumpulan pajak dibanding negara lain. Harusnya penerimaan pajak itu 20-21 persen dari produk domestik (GDP). Artinya dibanding negara lain, kita masih ketinggalan sekira 4 persen atau setara dengan Rp200 triliuh. Untuk itulah sunset policy dibuat bukan merupakan jebakan melainkan murni ingin meningkatkan penerimaan karena sunset tidak berurusan dengan harta kekayaan tapi penghasilan.
Dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), katanya, disebutkan keuntungan sunset policy antara lain kalau bayar pajak tidak kena denda. Dijamin tidak akan diperiksa jika ada pembetulan, kecuali kalau datanya bohong maka disarankan betulkan dengan benar dan tidak akan menanyakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun menghubung-hubungkannya dengan pajak lain. “Yang penting bagi kita berapa penghasilan pajaknya dan sekarang bayar,” katanya.
Darmin juga menyarankan kepada konsultan pajak agar tidak lagi menutupi pajak WP. Sebab sunset policy ini bukan jebakan, jadi tidak ada kompromi dengan WP. Sekira 70.000 WP terbesar sudah kita buat profilenya.
Ia mengakui program sunset policy ini membuahkan hasil positip jika dilihat dari meningkatnya pengurusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari 7.000-8.000 per hari kini pada Desember 2008 naik jadi 75.000 per hari.

Penerimaan
Menyinggung penerimaan, Darmin menyebutkan sampai Desember 20089 terealisasi Rp 508 triliun atau 95 persen lebih dari target Rp 534,5 triliun. Penerimaan terbesar dari kanwil large tax office (LTO) dengan WP besar perusahaan swasta maupun BUMN

SUNSET POLICY

Adanya kebijakan baru Sunset Policy, yaitu penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak, yang dikeluarkan Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadikan Pemerintah semakin optimis dalam meningkatkan penerimaan negara pada 2008.
Direktur Humas dan Penyuluhan Ditjen Pajak, Djoko Slamet Surjoputro di Jakarta, Jumat (14/3), mengatakan, kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada wajib pajak (WP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan penyerahan Surat Pajak Terhutang (SPT).
''Pelaks anaan sunset policy cukup signifikan bagi APBN. Meski dampaknya bersifat tidak langsung, karena melalui usaha ini, penerimaan pajak tahun 2008 diharapkan akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Pada 2007 realisasi penerimaan pajak tumbuh 24,72% atau lebih dari 70% dari penerimaan APBN,'' katanya.
Selain itu, Sunset Policy merupakan salah satu usaha DJP membangun kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan ini pemerintah berusaha membangun kepercayaan masyarakat melalui modifikasi kebijakan dan modernisasi teknologi informasi guna meningkatkan pelayanan.
''Sa at kini Ditjen Pajak sedang berusaha untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada kami,'' ujarnya.
Dia mengatakan, untuk bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka Ditjen Pajak menggunakan sistem penilaian pajak dengan metode self assessment, karena hampir semua negara menggunakan sistem seperti ini.
Selain itu, dalam sistem self assesment, WP diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung pajak terhutangnya sendiri. Karena, aturan yang berlaku selama ini, Ditjen Pajak lah yang menghitung pajak yang akan dibebani terhadap WP.
''Saat seperti itulah yang berpotensi menjadi celah oknum pajak untuk menyalahgunakan wewenang dengan saling tawar-menawar antara petugas pajak dan WP. Ini yang akan kami hindari, karena kami menginginkan citra negatif yang melekat pada kantor pajak tidak ada lagi,'' katanya.
Secara umum Sunset Policy adalah penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.
Sun set Policy mulai berlaku efektif bersamaan dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada 1 Januari 2008 dan berakhir pada 31 Desember 2008.
Sementara , I Gusti Nyoman Sanjaya selaku Kepala Seksi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan I, Ditjen Pajak menambahkan, kebijakan ini dapat memberi insentif menarik untuk meningkatkan kesadaran masyakarat terhadap kewajiban pajaknya.
Alasa n tersebut diungkapkan karena, WP yang dengan kemauan sendiri, dapat membetulkan SPT dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Ditjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
'' Jadi, kalau bisa masyarakat yang belum punya NPWP, saya sarankan untuk membuatnya pada tahun ini juga. Karena akan bebas dari sanksi administrasi,'' katanya.(T.Ia/toeb/b)

Selasa, 22 Juli 2008

Mampukah ASW atasi transfer pricing?

Bukan rahasia umum untuk meminimalisasi pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi kecil keuntungan.

Atas dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.

Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.

Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).

Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan untuk negara-negara anggota OECD.

Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.

Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak.

Komplikasi praktik

Untuk menggambarkan kompleksitas rekayasa penghindaran pajak dengan transfer pricing di bawah ini diberikan contoh ilustratif. X Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Malaysia, Hong Kong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan dari X Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hong Kong dan dari Hong Kong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US$100, dari Hong Kong ke Singapura dihitung US$200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US$300. Di Indonesia dijual dengan US$400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US$300.

Dengan transfer pricing laba tersebut dialokasikan ke Jepang, Hong Kong, Singapura dan Indonesia. Padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya saja yang mampir-mampir. Karena perusahaan Indonesia dianggap memakai jasa broker Trading House Singapura, maka harus membayar komisi US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman dari grup dengan bunga 15% atau US$45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal US$5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$25.

Dari contoh tersebut akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa grup untung sekurang-kurangnya US$300, yang diperoleh dari penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia tetapi perusahaan di Indonesia malah menderita rugi US$25. Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari perusahaan yang merugi tersebut. Dengan rekayasa transfer pricing, Indonesia tidak mendapat alokasi laba padahal laba grup tidak akan ada kalau barang tersebut tidak rekayasa semuanya itu dibeli oleh orang Indonesia. Karena dilakukan di luar Indonesia, pemeriksa pajak tidak punya akses data ke sana. Ini merupakan masalah yang pelik untuk pembuktiannya.

Single document

Karena sesuatunya sudah diatur secara rapi dan canggih secara formal (on paper) pemeriksa akan kesulitan untuk melakukan koreksi rekayasa tersebut. Untuk memperkirakan arm's length profit dari perusahaan Indonesia, umumnya pemeriksa memberlakukan metode resale price (harga jual minus). Kendala dari metode ini adalah tidak mudahnya mendapatkan data laba kotor yang wajar. Apalagi menyangkut bukti dokumen yang berada di luar yurisdiksi Indonesia. Tentu akan dengan mudah koreksi transfer price dipatahkan oleh wajib pajak.

Hukum pajak adalah hukum material yang dapat mengesampingkan bukti formal Masalahnya ialah bagaimana membawa yang material itu ke dalam yang formal sehingga mempermudah pembuktian. Apakah dengan single document system seperti digagas dalam Asean Single Window (ASW) bisa menjembatani hal ini. Dalam transaksi ekspor-impor, subtansi transaksi penyerahan barangnya hanya satu melibatkan dua pihak eksportir dan importir di kedua negara. Dalam single document system ini kepabeanan dari Singapura dan Indonesia akan menjalin kerja sama untuk menyediakan satu dokumen saja yang diisi untuk kepentingan eksportir Singapura dan importir Indonesia karena informasinya sama. Nampaknya dengan kerja sama demikian, praktik perdagangan tidak fair, seperti over pricing biaya (atau under pricing penghasilan) mungkin dapat tereliminasi.

Apalagi kalau single document system ini dilengkapi dengan pertukaran data manifes secara online. Namun, dalam kasus di atas harus diingat secara fisik barang dikirim langsung dari Jepang ke Indonesia. Karena fisik barang tidak berasal dari Singapura tentu manifes juga tidak dari Singapura tetapi dari Jepang langsung ke Indonesia. Kalau dengan semangat kerja sama antarnegara, dalam sistem single document, karena dokumen berasal dari Hong Kong maka Singapura akan menunjuk balik ke Hong Kong.

Seterusnya karena dokumen berasal dari Jepang, Hong Kong merujuk balik ke Jepang dan akan berakhir dengan single dokumen diisi oleh Jepang dan Indonesia sesuai dengan arus fisik barang.

Dengan dokumen tunggal, Indonesia dan Jepang tahu bahwa barang yang diproduksi di Jepang itu dijual di Indonesia dengan harga US$400. Kalau konsisten untuk mengakui harga di sana adalah US$100, berarti Indonesia dapat mengenakan pajak atas laba US$300. Namun yang menjadi pertanyaan apakah Singapura dan Hong Kong mau mengesampingkan kepentingan mereka demi berjalannya kerja sama regional dalam sistem dokumen tunggal? Atau bisa jadi untuk melindungi kepentingan negara mereka, Hong Kong dan Singapura meminta agar kapal pengangkut barang dari Jepang ke Indonesia mampir di Hong Kong dan kemudian ke Singapura sehingga bisa membuat manifes? Kalau demikian yang dilakukan tentu transfer pricing tidak akan terselesaikan dengan sistem single document karena masih rentan rekayasa.

Selain itu, apabila rekayasa transfer pricing atas barang fisik dapat diatasi dengan single document bagaimana dengan rekayasa pinjaman finansial dengan bunga tinggi dan rekayasa jasa untuk menerbangkan laba dan dana dari Indonesia?

Oleh Gunadi

Guru Besar Perpajakan FISIP UI

Rabu, 04 Juni 2008

Tak Miliki NPWP, Wajib Pajak Diancam Tarif Berlipat Ganda

Wajib pajak yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak atau NPWP diancam sanksi berupa tarif Pajak Penghasilan atau PPh yang berlipat ganda karena untuk penghasilan utama dan tambahan dikenai tarif berlainan.

Untuk penghasilan utama, dia akan dibebani tarif PPh lebih tinggi 20 persen dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki NPWP. Untuk penghasilan dari usaha sampingannya, wajib pajak tersebut akan dikenakan tarif PPh 100 persen lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak yang memiliki NPWP.

Direktur PPh Direktorat Jenderal Pajak Sumihar Petrus Tambunan mengungkapkan hal tersebut seusai menghadiri Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) PPh yang membahas Daftar Inventarisasi Masalah Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh di Jakarta, Kamis (20/9).

Menurut Sumihar, hal tersebut merupakan usulan pemerintah yang masih dibahas dalam Panitia Kerja RUU PPh. "Namun, sebaiknya segeralah membuat NPWP karena sanksinya pasti akan lebih berat dibandingkan dengan tarif PPh normal," katanya.

Penghasilan tambahan di luar pendapatan utama diatur dalam RUU PPh ini sebagai bagian dari pungutan PPh Pasal 23.

Penghasilan sampingan seperti yang dimaksud dalam pasal 23 adalah terdiri dari dividen, bunga, royalti, hadiah, bunga simpanan yang dibayarkan koperasi, penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta, sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, serta sewa lainnya, tetapi tidak termasuk sewa tanah dan bangunan.

Lebih berat

Di tempat terpisah, anggota Panitia Kerja RUU PPh dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Rama Pratama mengatakan, sanksi tersebut diarahkan untuk mendorong orang membuat NPWP sehingga terekam dalam data induk pemerintah.

Oleh karena itu, F-PKS mengusulkan sanksi lebih berat, yakni 25 persen lebih tinggi dibandingkan dengan tarif PPh normal bagi penghasilan utama orang yang tidak memiliki NPWP.

Saat ini tarif PPh yang diusulkan pemerintah merupakan tarif progresif karena semakin tinggi pendapatannya akan semakin tinggi tarif PPh-nya.

Orang yang berpenghasilan hingga Rp 50 juta per bulan dikenai tarif PPh 5 persen dan yang berpenghasilan Rp 50 juta-Rp 100 juta dikenai 15 persen.

Mereka yang berpenghasilan Rp 100 juta-Rp 200 juta per bulan dibebani tarif PPh 25 persen dan pendapatan di atas Rp 200 juta diwajibkan membayar PPh 35 persen. (OIN)

Senin, 02 Juni 2008

Kuasa Wajib Pajak

Pasal 32 Ayat (3) memberikan landasan hukum tentang kuasa di mana orang pribadi atau badan sebagai Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban. Ketentuan ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.

Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dasar hukum lainnya adalah Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007.

Sementara itu, Pasal 32 Ayat (3a) menyatakan bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk mengatur ini Menteri Keuangan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008.

Siapa Yang Bisa Menjadi Kuasa?

Seorang kuasa bisa berupa konsultan pajak maupun bukan konsultan pajak. Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang konsultan pajak adalah :

1. Menguasai ketentuan perpajakan
2. Memiliki surat kuasa khusus dari Pemberi kuasa
3. Memiliki NPWP
4. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak terakhir
5. Tidak pernah dipidana dalam bidang perpajakan

Surat kuasa khusus paling tidak harus memuat hal-hal sebagai berikut :

1. nama, alamat dan tandatangan di atas materei serta NPWP pemberi kuasa
2. nama, alamat dan tandatangan serta NPWP penerima kuasa
3. hak dan kewajiban pajak tertentu yang dikuasakan

Kuasa yang diterima tidak dapat dilimpahkan lagi kepada orang lain. Dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau pegawainya untuk menyampaikan atau menerima dokumen perpajakan tertentu kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Orang lain atau pegawai yang ditunjuk harus menunjukkan surat penunjukkan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugasnya.

Hak dan/atau Kewajiban Pajak Tertentu

Seperti diuraikan di atas, suatu surat kuasa khusus harus menyebutkan hak dan/atau kewajiban tertentu. Dengan demikian, satu surat kuasa harus spesifik menyebutkan suatu urusan perpajakan dan surat kuasa tidak bisa bersifat umum. Dengan kata lain, satu surat kuasa untuk satu urusan perpajakan tertentu. Misal surat kuasa khusus penandatanganan SPT Tahunan PPh Badan, surat kuasa khusus pengajuan keberatan dan lain-lain.

Syarat Kompetensi

Salah satu syarat untuk menjadi kuasa adalah menguasai ketentuan perpajakan. Untuk membuktikan kompetensinya seorang kuasa harus munjukkan dokumen dokumen sebagai berikut.

Dalam hal seorang kuasa tersebut bukan konsultan pajak, syarat kompetensi berupa fotocopy sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan dari PTN atau PTS yang terakreditasi A dengan jenjang pendidikan minimal adalah Diploma III.

Dalam hal seorang kuasa adalah konsultan pajak, syarat kompetensi adalah berupa kepemilikan surat ijin praktek konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. Fotocopy surat ijin praktek ini harus diserahkan dilengkapi dengan surat pernyataan sebagai konsultan pajak.

Pembatasan Bagi Kuasa Yang Bukan Konsultan Pajak

Seorang yang bukan konsultan pajak, termasuk karyawan, hanya dapat menerima kuasa dari :

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp1,8 Milyar
3. Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 Milyar setahun

Seorang kuasa yang berstatus sebagai karyawan atau pegawai tetap harus dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterei dari Wajib Pajak.

Saat Mulai Berlaku

Saat mulai berlakunya ketentuan-ketentuan di atas adalah tanggal ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 yaitu tanggal 6 Pebruari 2008.

Rekayasa Pajak, Konsultan Bisa Dipidana

JAKARTA - Konsultan pajak bakal ikut bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau ketika SPT (Surat Pemberitahuan) diperiksa. Tanggung jawab hukum juga bakal melekat karena konsultan wajib menandatangani SPT jika Wajib Pajak (WP) memberi kuasa kepadanya.

Pansus RUU Ketentuan Umum Perpajakan (DPR) dan pemerintah akhirnya sepakat terhadap materi pasal 4 ayat 3. "Dulu mereka tidak teken, sehingga kami tidak bisa minta tanggung jawab apa-apa. Boleh jadi, WP diajari bayar pajaknya sedikit dengan berbagai macam cara. Dengan cara itu, mereka harus teken supaya kita bisa kejar," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta akhir pekan lalu.

Jengkel akan hal itu, pihaknya bakal mengatur lebih ketat hak dan kewajiban konsultan pajak. Menurut mantan ketua Bapepam-LK tersebut, selama ini pengaturannya terlalu longgar. "Saat ini, kewajibannya hanya melaporkan siapa saja kliennya. Apa benar hanya itu (kliennya), kami tidak tahu," ujarnya.

Kata Darmin, konsultan pajak tidak cukup hanya diatur melalui Perdirjen. "Harusnya di atas itu," imbuhnya. Dia mengambil contoh akuntan publik yang hak dan kewajibannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan undang-undang. Dengan begitu, jika akuntan publik terbukti ikut merekayasa atau membohongi laporan keuangan, bisa dipidana. Aturan tegas inilah yang selama ini belum menyentuh konsultan pajak.

Setidaknya, mesti ada PMK yang mengatur tentang hal itu. "Kami sedang menyiapkan aturan pemberesan untuk itu. Sebab, kami juga menyadari betul bahwa tidak boleh terlalu longgar. Harus ada tanggung jawab yang jelas dari konsultan pajak," katanya.

Aturan tersebut, kata Darmin, setidaknya memuat ketentuan ketika konsultan memberikan konsultasi, apa saja yang harus dipatuhi. Selain itu, juga apa yang tidak boleh dilakukan. "Harus ada aturan seperti itu, kalau dia melanggar apa hukumannya. Walaupun kalau PMK tidak mungkin pidana, hukumannya pasti administratif. Yakni apakah itu pembekuan atau pencabutan izin," ujarnya. (sof)

Darmin Nasution, Kami Sedang Membangun Fondasi PDF

Direktorat Jenderal Pajak dibebani tugas cukup berat. Tahun ini harus bisa mendapatkan pemasukan pajak Rp Rp 534 triliun.

Bukan tugas mudah, memang. Bagaimana upaya dan strategi lembaga ini memenuhi target itu, berikut ini petikan perbincangan Koran Tempo dengan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution saat bertandang ke redaksi Koran Tempo pada Rabu lalu.

Apa upaya Anda untuk menggenjot penerimaan pajak?

Selama beberapa tahun terakhir, ada pekerjaan besar dan perubahan drastis yang kami lakukan. Pertama, percepatan administrasi perpajakan dan metode kerja. Secara .umum kami sebut modernisasiadministrasi perpajakan. Kedua, mengubah kebijakan yang lebih luas. Itu tergambar tidak hanya dalam aturan pelaksanaan, tapi juga amendemen Undang-Undang pajak, yang mengandung perubahan sangat fundamental.

Misalnya, citra yang sering dilontarkan oleh publik kepada aparat pajak adalah kami sering dianggap semena-mena, ngancam-ngancam orang. Itu bisa terjadi karena Undang-Undang Pajak lama memang memberi kewenangan dan power besar kepada aparat pajak. Sekarang itu sudah berubah menjadi lebih seimbang. Hak dan kewajiban wajib pajak diseimbangkan dengan hak dan kewajiban aparat pajak.

Ketiga, kami juga melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Harus diakui, sudah setengah abad republik ini berdiri, jumlah wajib pajak yang punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi baru kira-kira 5 juta. Dari jumlah itu, yang memasukkan surat pajak terutang hanya 35-40 persen dari yang punya NPWP. Padahal penduduk kita 220 juta lebih atau, kalau dengan pendekatan keluarga, kira-kira ada 55 juta keluarga. Jadi memang jauh. Nah, itulah yang membuat kami harus me-ne-view kembali metode dan cara kerja-

Bisa dijelaskan kembali soal powerful-nya aparat pajak?

Selama ini harus kami akui aparat pajak memang banyak yang macam-macam. Kami punya tenaga fungsional, tapi prakteknya tidak cukup, sehingga memberdayakan tenaga lain. Akibatnya, metode yang dipakai macam-macam. Mereka juga tak tahu apa yang dilakukan. Jelas potensial sekali penyim-pangannya karena tidak bisa dimonitor. Kantor pajak ini hebatnya adalah mencegat uang setoran yang masuk sebelum masuk negara. Di departemen lain kan pengeluaran yang diurusi. Nah, ini memunculkan potensi terjadinya kongkalikong dari aparat pajak, sehingga uang tidak masuk menjadi uang negara.

Lalu apa yang dilakukan?

Itu semua kami ubah sampai ke titik persoalannya. Kami ini kan bekerja dengan darah hidup dari data wajib pajak. Kami tidak bisa bekerja tanpa budaya merekam laporan wajib pajak. Selama ini sudah direkam tapi kurang baik. Ada yang hilang, ada yang tidak lengkap, sehingga tidak ada evaluasi yang tajam. Jadi persoalan dasar itu sekarang kami benahi. Kami sudah memulainya sejak 2006.

Bagaimana hasilnya?

Saya sering dicaci maki, dikritik penerimaan nggak naiklah. Tapi ka-mi sabar saja. Yang penting sekarang kami terus membangun fondasi. Terus terang saja, strategi ini agak nekat. Kami berani menerima risiko dituding tidak baik penerimaannya, tapi nanti fondasi untuk menggenjot (penerimaan pajak lebih tinggi) bisa kuat.

Fondasinya sudah selesai belum?

Belum selesai. Saya pikir untuk fondasi paling dasar baru tahun depan. Walaupun begitu, penerimaannya sudah baik sekali. Artinya, upaya yang dilakukan pada 2006 sampai 2007 sudah mulai terlihat. Bukan hanya persoalan budaya kerja dan infrastruktur mulai membaik, penerimaan pajak juga jauh membaik.

Pada 2000-2001, penerimaan masih di bawah Rp 200 triliun. Pada 2003-2005, dipatok Rp 200 triliun, tapi penerimaan bisa mendekati Rp 300 triliun. Pada 2006, sudah Rp 300 triliunan dan 2007 mencapai Rp 400 triliun. Tahun ini target pajak Rp 500 triliunan (termasuk minyak dan gas). Itu artinya penerimaan pajak harus bisa Rp 1,5 triliun setiap hari, termasuk hari libur.

Kira-kira akan tercapai?

Kelihatannya malah terlampaui. Mari kita lihat, sampai April 2008, dari target Rp 143 tribun, realisasinya sudah Rp 151,3 triliun. Berarti 5,2 persen di atas target. Jika termasuk migas, targetnya Rp 155,3 triliun, tapi realisasinya sudah Rp 173,6 triliun, yang berarti dibanding realisasi Januari-April tahun lalu naik 44,9 persen dan 11,7 persen di atas target. Nah, kita belum pernah menikmati kenaikan realsisasi penerimaan 40 persen sepanjang sejarah republik ini. Akan kami coba pertahankan tren kenaikan ini sampai akhir tahun. Kalau itu bisa, target akan terlampaui jauh. Artinya apa ini? Kesabaran untuk pembenahan dan pembentukan fondasi di pada 2006 dan 2007 mulai kelihatan hasilnya, termasuk dalam soal penerimaan. Guwjnn es

Sumber : Koran Tempo

Jenis Pajak

1 Bea Materai (BM)
2 Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3 Pajak Bumi Dan Bangunan(PBB)
4 Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah(PPNBM)
5 Pajak Penghasilan (PPh)

Minggu, 01 Juni 2008

JASA PAKET MURAH PERPAJAKAN

Anda Membutuhkan Penghitungan, Pembayaran dan Pelaporan Pajak-Pajak Anda
Kami Siap Membantu Anda dalam :
- SPT Tahunan & Masa PPh Orang Pribadi & PPh Pasal 21
- SPT Tahunan & Masa PPh Badan & PPh Pasal 21
- SPT Masa PPN dan PPnBM untuk Segala Jenis Usaha Orang Pribadi Maupun Badan
- SPT Masa Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 21,22,23,26
- Pengurusan NPWP dan PKP
- Pengajuan Keberatan dan Banding
- Pendampingan Pemeriksaan
- Tax Planning
- Persiapan Tax Audit
- Konsultasi Perpajakan
- dll

PAKET MURAH

- WP OP All Taxes
Jasa / Profesi : Rp. 500.000 / bulan
Dagang : Norma Rp. 500.000 / bulan ; Pembukuan Rp. 750.000 / bulan
Industri : Rp. 1000.000 / bulan

- WP Badan All Taxes
Jasa : Rp. 750.000 / bulan
Dagang : Rp. 1.000.000 / bulan
Industri : Rp. 1.500.000 / bulan

KONSULTASI DATANG: Rp. 75.000,- / jam

KAMI SIAP MENGAMBIL DAN MENGANTAR DATA ANDA

Bagi para Wajib Pajak yang membutuhkan konsultan untuk penghitungan, penyetoran & pelaporan kewajiban perpajakan (PPh Pasal 21,22,23,25,26,29 dan PPN/PPnBM)kami siap membantu anda. Hubungi kami di hp 081218179462 atau 08886613619 atau email kami MH.Iskandar@gmail.com