Selasa, 22 Juli 2008

Mampukah ASW atasi transfer pricing?

Bukan rahasia umum untuk meminimalisasi pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi kecil keuntungan.

Atas dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.

Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.

Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).

Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan untuk negara-negara anggota OECD.

Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.

Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak.

Komplikasi praktik

Untuk menggambarkan kompleksitas rekayasa penghindaran pajak dengan transfer pricing di bawah ini diberikan contoh ilustratif. X Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Malaysia, Hong Kong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan dari X Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hong Kong dan dari Hong Kong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US$100, dari Hong Kong ke Singapura dihitung US$200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US$300. Di Indonesia dijual dengan US$400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US$300.

Dengan transfer pricing laba tersebut dialokasikan ke Jepang, Hong Kong, Singapura dan Indonesia. Padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya saja yang mampir-mampir. Karena perusahaan Indonesia dianggap memakai jasa broker Trading House Singapura, maka harus membayar komisi US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman dari grup dengan bunga 15% atau US$45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal US$5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$25.

Dari contoh tersebut akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa grup untung sekurang-kurangnya US$300, yang diperoleh dari penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia tetapi perusahaan di Indonesia malah menderita rugi US$25. Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari perusahaan yang merugi tersebut. Dengan rekayasa transfer pricing, Indonesia tidak mendapat alokasi laba padahal laba grup tidak akan ada kalau barang tersebut tidak rekayasa semuanya itu dibeli oleh orang Indonesia. Karena dilakukan di luar Indonesia, pemeriksa pajak tidak punya akses data ke sana. Ini merupakan masalah yang pelik untuk pembuktiannya.

Single document

Karena sesuatunya sudah diatur secara rapi dan canggih secara formal (on paper) pemeriksa akan kesulitan untuk melakukan koreksi rekayasa tersebut. Untuk memperkirakan arm's length profit dari perusahaan Indonesia, umumnya pemeriksa memberlakukan metode resale price (harga jual minus). Kendala dari metode ini adalah tidak mudahnya mendapatkan data laba kotor yang wajar. Apalagi menyangkut bukti dokumen yang berada di luar yurisdiksi Indonesia. Tentu akan dengan mudah koreksi transfer price dipatahkan oleh wajib pajak.

Hukum pajak adalah hukum material yang dapat mengesampingkan bukti formal Masalahnya ialah bagaimana membawa yang material itu ke dalam yang formal sehingga mempermudah pembuktian. Apakah dengan single document system seperti digagas dalam Asean Single Window (ASW) bisa menjembatani hal ini. Dalam transaksi ekspor-impor, subtansi transaksi penyerahan barangnya hanya satu melibatkan dua pihak eksportir dan importir di kedua negara. Dalam single document system ini kepabeanan dari Singapura dan Indonesia akan menjalin kerja sama untuk menyediakan satu dokumen saja yang diisi untuk kepentingan eksportir Singapura dan importir Indonesia karena informasinya sama. Nampaknya dengan kerja sama demikian, praktik perdagangan tidak fair, seperti over pricing biaya (atau under pricing penghasilan) mungkin dapat tereliminasi.

Apalagi kalau single document system ini dilengkapi dengan pertukaran data manifes secara online. Namun, dalam kasus di atas harus diingat secara fisik barang dikirim langsung dari Jepang ke Indonesia. Karena fisik barang tidak berasal dari Singapura tentu manifes juga tidak dari Singapura tetapi dari Jepang langsung ke Indonesia. Kalau dengan semangat kerja sama antarnegara, dalam sistem single document, karena dokumen berasal dari Hong Kong maka Singapura akan menunjuk balik ke Hong Kong.

Seterusnya karena dokumen berasal dari Jepang, Hong Kong merujuk balik ke Jepang dan akan berakhir dengan single dokumen diisi oleh Jepang dan Indonesia sesuai dengan arus fisik barang.

Dengan dokumen tunggal, Indonesia dan Jepang tahu bahwa barang yang diproduksi di Jepang itu dijual di Indonesia dengan harga US$400. Kalau konsisten untuk mengakui harga di sana adalah US$100, berarti Indonesia dapat mengenakan pajak atas laba US$300. Namun yang menjadi pertanyaan apakah Singapura dan Hong Kong mau mengesampingkan kepentingan mereka demi berjalannya kerja sama regional dalam sistem dokumen tunggal? Atau bisa jadi untuk melindungi kepentingan negara mereka, Hong Kong dan Singapura meminta agar kapal pengangkut barang dari Jepang ke Indonesia mampir di Hong Kong dan kemudian ke Singapura sehingga bisa membuat manifes? Kalau demikian yang dilakukan tentu transfer pricing tidak akan terselesaikan dengan sistem single document karena masih rentan rekayasa.

Selain itu, apabila rekayasa transfer pricing atas barang fisik dapat diatasi dengan single document bagaimana dengan rekayasa pinjaman finansial dengan bunga tinggi dan rekayasa jasa untuk menerbangkan laba dan dana dari Indonesia?

Oleh Gunadi

Guru Besar Perpajakan FISIP UI

Bagi para Wajib Pajak yang membutuhkan konsultan untuk penghitungan, penyetoran & pelaporan kewajiban perpajakan (PPh Pasal 21,22,23,25,26,29 dan PPN/PPnBM)kami siap membantu anda. Hubungi kami di hp 081218179462 atau 08886613619 atau email kami MH.Iskandar@gmail.com