BAB I
PERMAINAN ANGKA-ANGKA LAPORAN KEUANGAN
Pengantar
Untuk menyembunyikan laba yang turun, beberapa manajer memainkan fleksibilitas yang ditemui di dalam prinsip-prinsip akuntansi guna mengubah laporan keuangan mereka. Sementara itu, yang lain melangkah lebih jauh dengan melakukan fraud (penipuan, kecurangan, atau penggelapan) dalam pelaporan keuangannya. Oleh karena itu, adalah sangat vital bagi investor, analis, dan pengguna laporan keuangan lainnya untuk mendeteksi praktik-praktik creative accounting seperti ini sedini mungkin agar terhindar dari negative earning suprises dan potential share-price declines.
Tulisan ini mencoba membantu para pembacanya agar mampu memahami, mendeteksi, dan menghindari sangat bervariasinya praktik-praktik creative accounting yang sekarang ada. Selain itu, diharapkan juga pembaca dapat memahami bagaimana di satu sisi “penyusun laporan keuangan” mencoba meningkatkan labanya dengan creative accounting, tapi di sisi lain meminimalkan pajaknya melalui penerapan tax planning. Untuk itu, di pembahasan selanjutnya setelah creative accounting, dikupas juga tax planning.
Jenis-jenis Financial Numbers Game
Permainan angka-angka laporan keuangan atau Financial Numbers Game, menurut Charles W. Mulfrod & Eugene E. Comiskey dalam bukunya The Financial Numbers Game: Detecting Creative Accounting Practices, merupakan upaya yang dilakukan manajemen perusahaan terkait dengan “accounting irregularities” yang ditemui di dalam penyajian dan pengungkapan laporan keuangan perusahaan.
Banyak istilah dan bentuk yang dipakai dalam jenis permainan ini, tergantung pada “keahlian” manajemen perusahaan. Beberapa istilah yang sering muncul terlihat dalam tabel berikut.
Jenis Financial Numbers Game Definisi
Aggressive Accounting Pemilihan dan penerapan prinsip akuntansi yang bertujuan agar laba tahun berjalan lebih tinggi (higher current earnings), terlepas dari apakah praktik tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau tidak.
Earnings Management Manipulasi laba secara aktif untuk suatu target yang sudah ditentukan sebelumnya oleh, misalnya, manajemen, untuk suatu proyeksi yang sudah dibuat oleh analis, atau untuk mendapatkan suatu angka yang konsisten dengan smoother, more sustainable earnings stream.
Income Smoothing Suatu bentuk earnings management yang didesain untuk menghilangkan aliran laba yang fluktuatif, termasuk cara-cara untuk mereduksi dan “menyimpan” laba pada saat kinerja keuangan sedang membaik agar laba tersebut bisa dimanfaatkan pada saat kinerja keuangan sedang menurun.
Fraudulent Financial Reporting Penyajian keliru (misstatement) yang disengaja atau penyembunyian (ommision) atas suatu angka atau pengungkapan di dalam laporan keuangan yang bertujuan untuk memperdayai pengguna laporan keuangan melalui pendekatan administratif, perdata, atau kriminal.
Creative Accounting Practices Setiap langkah yang digunakan untuk memainkan angka-angka laporan keuangan, yang mencakup aggressive accounting, fraudulent financial reporting, income smoothing, dan earnings management.
Apa yang Diharapkan dalam Financial Numbers Game?
Share Price Effects
Investor akan mencari-cari dan bersedia membayar harga saham yang tinggi untuk perusahaan yang memiliki corporate earning power (kemampuan untuk menghasilkan pendapatan) yang bagus, terus meningkat dan sustainable. Earning power yang bagus tersebut akan berimbas pada cashflow perusahaan semakin bagus, baik cash flow di masa sekarang maupun yang akan datang. Dari sisi perusahaan, harga saham yang semakin tinggi akan meningkatkan market valuation dan menurunkan cost of capital. Dari sisi manajer perusahaan, harga saham yang meningkat akan memperbaiki tingkat kemakmuran mereka.
Borrowing Cost Effects
Laba tinggi, aset perusahaan yang meningkat, kewajiban kecil, dan saldo ekuitas tinggi karena saldo laba meningkat dapat memberikan kesan para kreditur bahwa kualitas kredit meningkat dan debt rating lebih tinggi. Pada akhirnya, penerapan creative accounting ini dapat menurunkan borrowing cost.
Bonus Plan Effects
Pemberian kompensasi atau insentif kepada pegawai atau karyawan kunci perusahaan merupakan rencana yang biasa muncul di perusahaan. Kompensasi tersebut dapat berbentuk opsi kepemilikan saham atau bonus yang dikaitkan dengan pendapatan perusahaan. Jika pendapatan perusahaan naik, bonus karyawan akan meningkat. Hal demikian dapat mengakibatkan manajer perusahaan menerapkan creative accounting agar pendapatan meningkat dan bonusnya pun semakin besar.
Political Cost Effects
Adakalanya perusahaan-perusahaan besar termotivasi untuk menurunkan labanya agar bisa mempengaruhi regulator. Hal ini pernah terjadi di Amerika Serikat. Ketika harga minyak melambung pada tahun 1970-an karena embargo, Kongres Amerika Serikat berencana menerapkan kebijakan pajak tinggi untuk mengendalikan laju harga minyak. Agar kebijakan tersebut tidak diterapkan, pengusaha minyak di AS “cenderung” menangguhkan pendapatannya dan mempercepat pembebanan biayanya agar laba mengecil. Contoh lainnya, meskipun menguasai 90% pasar sistem pengoperasian komputer, Microsoft Corp. gagal meyakinkan pengadilan tingkat federal bahwa dia tidak memonopoli pasar. Akibatnya, salah satu yang ditempuh adalah laba dilaporkan lebih kecil.
BAB II
CREATIVE ACCOUNTING
Mengapa Creative Accounting?
Creative accounting diterapkan oleh perusahaan karena beberapa kondisi, seperti bervariasinya prinsip akuntansi, dalam rangka penerapan prinsip akuntansi yang agresif, dalam rangka earnings management, pelaporan keuangan yang benar-benar menyimpang (outright fraudulent financial reporting).
Prinsip Akuntansi yang Bervariasi
1. Fleksibilitas Pelaporan Keuangan
Perusahaan dapat memilih dan menerapkan GAAP secara fleksibel. Sebagai akibatnya, perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha yang sama dimungkinkan menyajikan laporannya berbeda. Beberapa contoh metode akuntansi terkait dengan penerapan yang fleksibel di antaranya adalah
a. Penentuan Biaya Persediaan
Di dalam penilaian persediaan dikenal metode FIFO (first in first out), LIFO (last in last out), dan Average. Berdasarkan suatu penelitian di AS yang dilakukan oleh AICPA pada tahun 2000, disebutkan bahwa perusahaan bervariasi dalam menggunakan ketiga metode tersebut. Namun demikian, FIFO lebih populer dibanding kedua metode lainnya.
Berikut ini perbandingan ketiga metode penilaian persediaan dan efekt harga pokok yang dihaliskan.
Berdasarkan perbandingan di atas, keuntungan LIFO adalah menghemat pajak dan pengukuran pendapatan yang lebih baik. Akan tetapi, kerugiannya adalah menurunkan pendapatan, saldo inventori yang tidak realistis di neraca, dan laba yang tak dapat diantisipasi karena pencatatan kuantitas inventori.
b. Pengakuan Pendapatan
Di dalam GAAP, khususnya PSAK Nomor 23 tentang pendapatan, disebutkan bahwa pendapatan dapat timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi seperti penjualan barang, penjualan jasa; dan penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan dividen. Ketiga transaksi dan peristiwa tersebut memunculkan adanya metode pengakuan pendapatan yang berbeda. Misalnya, pendapatan yang berasal penjualan barang secara tunai atau pun cicilan dan penjualan jasa yang didasarkan dari tingkat penyelesaian.
Jenis Pendapatan Kriteria Pengakuan Pendapatan
Penjualan barang Pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut dipenuhi:
(a) perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli;
(b) perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual;
(c) jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal;
(d) besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut;dan
(e) biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan dapat diukur dengan andal
Penjualan Jasa Bila hasil suatu transaksi yang meliputi penjualan jasa dapat diestimasi dengan andal pendapatan sehubungan dengan transaksi tersebut harus diakui dengan acuan pada tingkat penyelesaian dari transaksi pada tanggal neraca. Hasil suatu transaksi dapat diestimasi dengan andal bila seluruh kondisi berikut dipenuhi:
(a) jumlah pendapatan dapat diukur dengan andal;
(b) besar kemungkinan manfaat ekonomi sehubungan dengan transaksi tersebut akan diperoleh perusahaan;
(c) tingkat penyelesaian dari suatu transaksi pada tanggal neraca dapat diukur dengan andal;dan
(d) biaya yang terjadi untuk transaksi tersebut dan biaya untuk menyelesaikan transaksi tersebut dapat diukur dengan andal.
Bila transaksi yang meliputi penjualan jasa tidak dapat diestimasi dengan andal, pendapatan yang diakui hanya yang berkaitan dengan beban yang telah diakui yang dapat diperoleh kembali.
Bunga, royalti dan dividen Pendapatan yang timbul dari penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain menghasilkan bunga, royalti dan dividen harus diakui dengan dasar sebagai berikut:
(a) bunga harus diakui atas dasar proporsi waktu yang memperhitungkan hasil efektif aktiva tersebut;
(b} royalti harus diakui atas dasar akrual sesuai dengan substansi perjanjian yang relevan; dan
(c) dalam metode biaya (cost method), dividen tunai harus diakui bila hak pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan.
c. Metode Penyusutan dan Amortisasi
Di dalam GAAP dikenal beberapa metode penyusutan dan amortisasi, seperti terlihat pada tabel berikut
Metode penyusutan dan amortisasi:
1) Straight line method
2) Sum-of-the-year-digit method
3) Declining balance method
4) Double declining balance method
5) Partial period (setengah dari penyusutan Sum of the Year Digit)
6) Service-hour period
7) Service-unit period
8) Group depreciation
9) Composite depreciation
Perbandingan penggunaan penyusutan dengan metode-metode di atas terlihat dari contoh berikut ini.
PT MBR membeli sebuah mesin pada tanggal 2 Jan 2004 dgn harga Rp 340 juta, masa manfaat 5 tahun (60.000 jam pemakaian), dan salvage value pada akhir periode sebesar Rp 40 juta. Pada kenyataannya, di tahun 2004 truk tsb telah beroperasi selama 20.000 jam dan tahun 2005 selama 15.000 jam. Total produk yang dihasilkan berjumlah 2,5 juta unit.
1) Straight Line Method
2) Sum-of-the year-digit method
3) Declining Balance Method
*) = [1 - {(nilai residu / hrg perolehan) ^ (1 / masa manfaat)}] = [1 - {(40 juta / 340 juta) ^ (1/5)}]
4) Double Declining Balance Method
*) = 2 x tarif penyusutan SLM
5) Partial period (setengah dari penyusutan Sum of the Year Digit)
6) Service-hour period
7) Service-unit period
Penyusutan per unit = (340 juta - 40 juta) / 2.500.000 unit = Rp 120
d. Metode Penyisihan
Misalnya, metode penyisihan piutang tak tertagih memungkinkan perusahaan melakukan penyisihan berdasarkan prosentase tertentu atau berdasarkan umur piutang. Prosentase tersebut bisa berbeda-beda untuk setiap perusahaan tergantung dari jenis industri dan transaksi akuntansinya.
2. Mengapa Fleksibilitas Terjadi?
Penentuan biaya persediaan, pengakuan pendapatan, metode penyusutan/ amortisasi, dan metode penyisihan yang berbeda sebagaimana dijelaskan di atas memberikan peluang bagi perusahaan untuk fleksibel di dalam menerapkan GAAP. Pertanyaannya adalah mengapa standar-standar tersebut begitu fleksibel, apakah IAI atau Bapepam memperbolehkan fleksibilitas tersebut terjadi, atau regulator seharusnya perlu menetapkan standar yang sama di dalam pelaporan keuangan?
Kenyataannya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas tidak begitu sederhana. Transaksi-transaksi keuangan dan kondisi ekonomi yang ada tidak selalu sama sehingga bisa digunakan GAAP yang identik, bahkan untuk perusahaan sejenis sekalipun.
Penerapan Prinsip Akuntansi yang Agresif
Terkadang, bukannya menggunakan GAAP yang fleksibel untuk menyajikan laporan keuangan yang wajar, bahkan perusahaan menerapkan GAAP secara agresif agar kinerja laporan keuangannya terlihat lebih menarik dan bagus. Berikut ini beberapa contohnya.
1. Over-estimasi dalam biaya restrukturisasi perusahaan
Restrukturisasi perusahaan merupakan sesuatu yang positif karena bisa memperbaiki kinerja perusahaan di masa mendatang. Sesuai dengan GAAP seluruh biaya yang terkait dengan restrukturisasi tersebut dibebankan pada tahun berjalan. Adakalanya perusahaan yang melakukan restrukturisasi meng-overestimate biaya restrukturisasi. Caranya dengan menghapus sebagian persediaan dan aktiva tetap dan biaya penghapusan tersebut dimasukkan sebagai biaya restrukturisasi. Selain itu, cadangan biaya litigasi dan lingkungan dimasukkan juga sebagai biaya restrukturisasi.
Akibatnya, biaya restrukturisasi pada tahun berjalan sangat besar dan kinerja laporan keuangan pada tahun dilakukannya restrukturisasi menjadi underestimate. Di samping itu, kinerja laporan keuangan di tahun-tahun mendatang menjadi lebih cantik karena tidak ada lagi biaya penyusutan, biaya persediaan yang rusak, biaya litigasi atau biaya lingkungan.
2. Memainkan Tingkat Prosentase Penyelesaian Pekerjaan
Untuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan pendapatannya ditentukan oleh besarnya tingkat penyelesaian, metode percentage of completion menjadi sesuatu yang menarik. Jika laba masih terlalu kecil, tingkat penyelesaian akan dinaikkan agar laba meningkat. Akan tetapi, jika laba terlalu besar yang berdampak pada peningkatan pajak, sementara cash flow tidak memadai, langkah yang ditempuh adalah menurunkan tingkat penyelesaian proyek-proyeknya.
3. Menangguhkan Biaya Proyek dan Menghapus Utang Usaha
Untuk mendapatkan kinerja keuangan yang cantik dan tidak terlalu jauh di bawah target RKAP (Rencana Kerja Anggaran Perusahaan), manajemen perusahaan yang menjadi “cucu” sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan hal-hal berikut:
a. Seluruh pendapatan suatu proyek konstruksi telah diakui 100% sesuai dengan percentage-of-completion method, namun biaya proyek terkaitnya masih dicatat di akun Construction in Progress.
Alasan yang menjadi dasar adalah jika seluruh biaya proyek tersebut diakui, laba kotor proyek tersebut menjadi minus (rugi). Selain itu, kinerja keuangan perusahaan yang diukur berdasarkan indikator tingkat kesehatan keuangan, sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. Kep-100/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002, menjadi turun.
Untuk meyakinkan auditornya, manajemen perusahaan membuat suatu perhitungan dan pernyataan yang menjelaskan bahwa di tahun berikutnya proyek tersebut masih memberikan pendapatan, termasuk klaim yang sebetulnya masih diperselisihkan antara pemilik proyek dan perusahaan tersebut.
b. Penghapusan utang usaha menjadi pendapatan di luar usaha
Karena target perusahaan untuk mendekati angka RKAP belum terpenuhi, manajemen perusahaan “terpaksa” menghapuskan sebagian utang usahanya yang sudah berumur lebih dari dua tahun. Tujuannya untuk meningkatkan laba usaha sebelum pajak.
Earnings Management
Menunda pendapatan (earnings) bisa dilakukan dengan cara memainkan besaran tingkat kolektibilitas piutang melalui pencadangan piutang tak tertagih, masa manfaat aktiva tetap, dan nilai residu harta.
Contoh lainnya adalah purchased in-process research & development (R&D). Ini terjadi dalam sebuah penggabungan perusahaan-perusahaan teknologi. Sesuai dengan namanya, R&D tersebut belum selesai, sehingga jika memiliki masa manfaat ekonomis di masa mendatang, R&D tersebut bisa dikapitalisasi. Dalam hal ini biaya riset dan pengembangan tersebut diperbesar dan pembebanannya dilakukan melalui amortisasi. Hal ini menyebabkan pendapatan (earnings) perusahaan dapat dikelola dengan baik.
Pelaporan Keuangan yang Menyimpang
Di dalam Keputusan Menteri BUMN No. Kep-100/MBU/2002 tanggal 4 Juni 2002 yang mengatur di antaranya tentang indikator tingkat kesehatan keuangan, menjelaskan bahwa aspek yang dinilai adalah aspek keuangan, operasional, dan administrasi. Indikator keuangannya di antaranya adalah:
1. Return on Equity (ROE) yaitu Laba setelah pajak / modal sendiri
2. Rasio modal sendiri terhadap total aktiva (total equity to total asset) yaitu total modal sendiri / total aktiva (TMS/TA).
Karena saldo ekuitasnya negatif, manajemen sebuah perusahaan BUMN memutuskan untuk menggunakan angka modal sendiri sebagai total equity dan berikut hasil penilaian kinerja perusahaan.
Aspek Kinerja Bobot Audit Report Seharusnya
a. Keuangan 70 43,00 25,00
b. Opersional 15 15,00 15,00
c. Administrasi 15 9,00 9,00
Total Skor 100 67,00 49,00
Tingkat Kesehatan A BB
Sehat Kurang Sehat
Klasifikasi Creative Accounting
Charles W. Mulford & Eugene E. Comiskey membagi Creative Accounting menjadi beberapa unsur, yaitu:
Recognizing Premature or Fictitious Revenue
Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies
Misreported Assets & Liailibities
Getting Creative with the Income Statement
Problems with Cash-flow Reporting
Recognizing Premature or Fictitious Revenue
Mengakui penghasilan prematur atau penghasilan fiktif itu berbeda jika ditinjau dari sudut aggressive accounting. Untuk premature revenue, pengakuannya sudah sesuai dengan GAAP. Sementara itu, untuk fictitious revenue , penghasilan dicatat tanpa adanya penjualan yang terjadi.
Bentuk dari prematur revenue bisa berupa pengakuan penjualan dilakukan pada saat barang sudah dipesan, tapi belum dikirim (goods ordered, but not shipped) atau barang sudah dikirim, tapi belum dipesan (goods shipped, but not ordered). Sementara itu, contoh penjualan fiktif adalah backdated invoice, tanggal pengiriman yang diubah, atau sengaja salah mencatat penjualan.
Untuk mendeteksi adanya penjualan prematur atau penjualan fiktif, perhatikan tabel berikut:
Cara Mendeteksi Penjualan Prematur atau Fiktif
1. Pahami kebijakan pengakuan pendapatan, termasuk perubahannya
2. Cermati piutang usaha
3. Cermati akun-akun yang “mungkin” digunakan untuk meng-offset penjualan prematur atau fiktif
4. Review transaksi hubungan istimewa
5. Perhatikan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan sesuai laporan
Aggressive Capitalization & Extended Amortization Policies
Dalam kebijakan kapitalisasi yang agresif, perusahaan melaporkan beban atau rugi tahun berjalan sebagai aset. Akibatnya, pengakuan biaya tertunda dan laba naik. Selanjutnya, “aset” atau beban ditangguhkan tersebut diamortisasi selama beberapa tahun.
Untuk mendeteksi adanya aggressive capitalization & extended amortization policies, perhatikan tabel berikut:
Cara Mendeteksi Kebijakan Aggressive Capitalitation & Extended Amortization Policies
1. Pahami kebijakan kapitalisasi aset dan apakah aset yang dikapitalisasi tersebut melebih nilai pasar
2. Proporsikan total biaya pengembangan software yang dikapitalisasi dan tentukan apakah proporsi tersebut wajar
3. Cermati biaya bunga yang dikapitalisasi sehubungan dengan proyek konstruksi yang sudah berakhir
4. Cermati alasan yang mendasari pencatatan normal operating expense ke dalam aset
Misreported Assets & Liailibities
Dalam banyak kasus, nilai aset overvalued dan/atau kewajiban undervalued dengan tujuan agar earning power menjadi lebih tinggi dan posisi keuangan lebih kuat. Dengan laba yang tinggi, otomatis saldo laba akan dan nilai ekuitas akan naik.
Beberapa akun aktiva yang potensial dilaporkan overvalued adalah piutang usaha, inventori, investasi (yang diklasifikasikan dalam trading, held to maturity, atau available for sale). Akun kewajiban yang dicatat undervalued di antaranya adalah accrued expense payable, utang usaha, utang pajak, dan contingent liability.
Untuk mendeteksi adanya misreported asset & liability, perhatikan tabel berikut:
Cara Mendeteksi Misreported Asset & Liability
1. Tandingkan prosentase perubahan piutang usaha dengan perubahan penghasilan untuk 4-6 triwulan terakhir
2. Pastikan bahwa pembentukan cadangan piutang tak tertagih cukup untuk menutup risiko inkolektibilitas
3. Cermati apakah persediaan yang overvalued tersebut disebabkan persediaan fiktif
4. Cermati apakah kasus overvalued inventory pernah terjadi sebelumnya
5. Cermati penurunan nilai pasar surat berharga yang held to maturity
6. Cermati trend yang terjadi untuk accrued expense payable
7. Hitung umur utang untuk 4-6 bulan terakhir
8. Review total utang pajak yang tercatat di neraca dengan beban pajak yang dicatat di laba rugi
9. Cermati kewajiban kontinjensi yang tidak dicatat di neraca
Getting Creative with the Income Statement
Permainan angka-angka di laporan laba rugi terjadi pada cara mempercepat atau memperlambat pengakuan pendapatan dan biaya. Dalam hal ini laba diatur untuk beberapa periode pelaporan.
Selain itu, penyajian laporan yang bisa berbentuk single step maupun step memungkinkan perusahaan memainkan angka-angka subtotal, klasifikasi akun, dan catatan laporan keuangan. Misalnya, unsur pendapatan usaha dilaporkan sebagai pendapatan di luar usaha atau sebaliknya, pengeluaran yang termasuk dalam harga pokok penjualan direklasifikasikan ke dalam kelompok akun beban operasi atau sebaliknya. Reklasifikasi demikian tentu saja akan mempengaruhi angka sub total laba kotor atau laba operasi yang nota bene sering dijadikan sebagai sumber informasi untuk pengambilan keputusan.
Contoh lainnya yang termasuk dalam kreativitas akuntansi di laporan laba rugi terjadi dalam:
Kelompok akun other expense/income yang seringkali di-netting. Perusahaan hanya melaporkan total other expense/income tanpa merinci detil dari kelompok akun tersebut.
Penggunaan terminologi di dalam laporan laba rugi, seperti istilah restrukturisasi yang “ternyata” biaya restrukturisasinya mencakup penghapusan inventori, pembayaran pesangon dan biaya PHK, penghapusan aktiva, biaya relokasi, dan biaya penurunan nilai aktiva.
Penentuan tingkat materialitas suatu transaksi. Dengan konsep materialitas ini, perusahaan dapat mengelompokkan transaksi yang sebetulnya material menjadi tidak material.
Problems with Cash-flow Reporting
Seperti diuraikan sebelumnya dalam Share Price Effect, para investor tertarik dengan perusahaan yang punya earning power yang bagus dan sustainable. Dengan demikian, future cash flow-nya menjadi baik pula. Bagi para kreditur, dengan cash flow yang baik, utang piutang menjadi lancar.
Sudah menjadi hal yang umum bahwa arus kas bersih dari aktivitas operasi merupakan manifestasi operating income yang ada di laporan laba rugi. Arus kas bersih ini menjadi alat ukur utama tentang kemampuan perusahaan dalam mendapatkan sustainable cash flow.
Di dalam pelaporan arus kas menurut GAAP, arus kas terbagi menjadi arus kas dari aktivitas operasi, aktivitas pembiayaan (financing) dan aktivitas investasi. Bentuk penyajian laporan arus kas sendiri terdiri dari indirect method dan direct method. Dalam indirect method, arus kas dari aktivitas operasi dihitung dari laba bersih yang disesuaikan dengan transaksi-transaksi non kas di laporan laba rugi. Sementara itu, dalam direct method arus kas dari aktivitas operasi ditampilkan berdasarkan transaksi-transaksi kas di laba rugi.
Di dalam praktiknya, arus kas dari aktivitas operasi hanya diketahui oleh segelentir pengguna laporan keuangan, tapi tidak diketahui oleh para investor maupun kreditur. Kedua stakeholder tersebut lebih fokus pada kinerja keuangan. Akibatnya, mereka cenderung menganggap bahwa laporan arus kasnya sudah benar. Pada kenyataannya, laporan arus kas, khususnya arus kas operasi, tidak terlepas juga dari creative accounting. Berikut ini adalah contohnya
1. Arus kas operasi memasukan unsur pembayaran pajak penghasilan (PPh), baik PPh Badan maupun PPh final.
2. Operasi dalam penghentian (discontinued operation) juga dimasukkan dalam aktivitas operasi, padahal di dalam laba rugi discontinued operation tersebut dikeluarkan dari laba operasi.
3. Biaya operasi yang dikapitalisasi dimasukkan sebagai arus kas dalam aktivitas investasi, padahal jika dibebankan pada tahun berjalan, masuk dalam arus kas operasi.
Untuk mendeteksi adanya creative accounting, laporan arus kas (setelah dikeluarkan unsur non recurring cash flow seperti discontinued operation) bisa menjadi alat yang efektif. Misalnya,
transaksi fiktif seperti prematur revenue atau fictitious revenue tidak akan pernah muncul di laporan arus kas karena tidak melibatkan unsur kas; dan
aggressive accounting dapat meningkatkan laba perusahaan, tapi arus kas dari aktivitas operasi tetap tidak berubah.
BAB III
LEBIH JAUH TENTANG EARNINGS MANAGEMENT
Mengapa Earnings Management?
Keinginan untuk mencapai target yang telah diproyeksikan sebelumnya, atau bahkan melampaui target tersebut merupakan faktor yang paling kuat bagi perusahaan untuk melakukan earnings management. Beberapa kondisi perusahaan yang menyebabkan dilakukannya earnings management terangkum dalam tabel berikut ini:
Kondisi Tujuan earnings management
Pendapatan tidak memenuhi proyeksi yang telah ditargetkan Untuk menghindari turunnya harga saham
Perusahaan sedang mempersiapkan Initial Public Offering Untuk menyajikan potret keuangan sebaik mungkin agar harga saham sesuai dengan yang diekspektasikan
Posisi pendapatan tidak memungkinkan adanya pemberian kompensasi insentif Untuk memposisikan pendapatan agar tetap berada di antara level minimum dan maksimum yang memungkinkan pemberian kompensasi insentif bisa maksimal
Perusahaan berada pada posisi yang menjadi target kegiatan politik yang merugikan Untuk meminimalkan political cost dengan cara menghindari hal-hal yang dapat mengganggu keuntungan perusahaan
Kerugian yang cukup besar sebagai akibat dari pengakuan beban-beban di masa lalu Untuk me-reverse pengakuan-pengakuan beban yang overstated agar tujuan peningkatan laba di masa berikutnya dapat tercapai
Teknik Earnings Management
Teknik yang paling sering digunakan dalam penerapan earnings management adalah memanfaatkan fleksibilitas yang ada pada GAAP (Generally Accepted Accounting Principles). Beberapa teknik earnings management terlihat pada tabel berikut:
Teknik Earnings Management:
1. Mengubah metode penyusutan (misalnya dari dipercepat menjadi garis lurus)
2. Mengubah masa manfaat untuk keperluan penyusutan
3. Mengubah estimasi nilai residu yang digunakan dalam penyusutan
4. Menentukan cadangan yang diperlukan untuk penghapusan piutang tak tertagih
5. Menentukan cadangan yang diperlukan untuk kewajiban waran
6. Menentukan cadangan penilaian aktiva pajak tangguhan
7. Menentukan perlunya penurunan nilai aset dan pengakuan rugi
8. Mengestimasi tingkat penyelesaian suatu pekerjaan
9. Mengestimasi kemungkinan realisasi klaim kontrak
10. Mengestimasi penurunan nilai investasi
11. Mengestimasi jumlah yang perlu dimasukkan sebagai accrual
12. Memutuskan kebutuhan persediaan
13. Mengestimasi pengakuan kewajiban yang terkait dengan lingkungan
14. Membuat atau mengubah asumsi aktuaris dalam perhitungan pensiun
15. Menentukan seberapa besar transaksi pembelian dianggap sebagai biaya riset dan pengembangan
16. Menentukan atau mengubah periode amortisasi aktiva tak berwujud
17. Memutuskan sejauh mana biaya-biaya seperti pengembangan software dan iklan harus dikapitalisasi
Memutuskan klasifikasi hedging (lindung nilai) yang cocok untuk transaksi derivatif
18. Menentukan apakah penurunan nilai pasar investasi hanya bersifat sementara
Ket : 18
Hedging atau lindung nilai adalah merupakan suatu mekanisme yang dilaksanakan di Bursa Berjangka dengan membuka suatu kontrak beli atau jual atas suatu komoditi yang sama dengan komoditi yang akan diperdagangkan di pasar fisik.
Hedging ini bertujuan untuk Memperkecil atau menghilangkan resiko kerugian atas ketidakpastian harga yang mungkin terjadi pada saat transaksi di pasar fisik nantinya,. Jadi dengan melakukan hedging kerugian yang terjadi akan ditutupi oleh keuntungan yang diperoleh atas transaksi yang dilakukan di bursa berjangka.
Suatu transaksi derivatif merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak yang dikenal sebagai counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan). Dalam istilah umum, transaksi derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya tergantung pada – diturunkan dari – nilai aset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying) yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index) lainnya. Mayoritas transaksi derivatif adalah produk-produk Over the Counter (OTC) yaitu kontrak-kontrak yang dapat dinegosiasikan secara pribadi dan ditawarkan langsung kepada pengguna akhir, sebagai lawan dari kontrak-kontrak yang telah distandarisasi (futures) dan diperjualbelikan di bursa. Menurut para dealer dan pengguna akhir (end user) fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk melindungi nilai (hedging) beberapa jenis risiko tertentu.
Bagaimanapun juga, jika upaya earnings management dilakukan terlalu jauh, akibatnya adalah penyajian yang keliru (misstatement) atau bahkan yang seharusnya diungkap, “malah” tidak diungkap. Hal seperti ini dapat mengelabui pembaca laporan keuangan. Biasanya hal seperti ini dikenal dengan istilah accounting irregularities dan fraudulent financial reporting.
Selain teknik di atas, ada juga yang termasuk dalam kategori abusive earnings management. Biasanya earnings management yang kasar seperti ini terdapat di dalam pengakuan pendapatan dan biaya, seperti terlihat berikut ini:
Abusive Earnings Management:
1. Pengiriman sudah dilakukan ke kantor perwakilan di proyek dan barang masih dalam kontrol perusahaan, tapi penjualan sudah diakui
2. Penjualan sudah diakui tanpa ada pengiriman barang yang sudah dipesan
3. Penjualan sudah diakui seluruhnya, padahal pengiriman barang baru dilakukan sebagian
4. Nilai persediaan akhir dilaporkan kurang (underreported) agar utang pajak bisa diturunkan
5. Cadangan untuk diskon penjualan kurang dicatat (undervalued)
6. Kapitalisasi biaya tidak wajar, khususnya biaya bunga
7. Penjualan dicatat, padahal klaim terhadap pelanggannya masih dipermasalahkan
Efektivitas Earnings Management
Efektivitas earnings management ditentukan oleh apakah tujuan earnings management sebagaimana digambarkan di atas tercapai atau tidak. Selain itu, efektivitasnya juga tergantung pada kombinasi teknik yang digunakan, serta kondisi yang melatarbelakangi
BAB IV
DASAR-DASAR TAX PLANNING
Pendahuluan
Umumnya perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber daya secara optimal.
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak (sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan). Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan. Tujuannya agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan, Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak.
Untuk dapat meminimumkan kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan (lawful) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful) seperti tax avoidance dan tax evasion. Perencanaan perpajakan umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya.
Pada dasarnya, perencanaan pajak harus (1) tidak melanggar ketentuan perpajakan, (2) secara bisnis masuk akal, dan (3) bukti-bukti pendukungnya memadai.
Aspek-aspek dalam Tax Planning
Aspek Formal dan Administratif
1. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP);
2. Menyelenggaraan pembukuan atau pencatatan;
3. Memotong dan atau memungut pajak;
4. Membayar Pajak;
5. Menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Aspek Material
Basis pernghitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optomalisasi alokasi sumber dana manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang. Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap
Strategi Umum
Tax Saving
Tax saving merupakan upaya mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan, yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp 100 juta, dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. Penghematan pajak atas perubahan ini berkisar antara 5-25% untuk penghasilan karyawan sampai dengan Rp 200 juta.
Tax Avoidance
Tax avoidance merupakan upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan objek pajak. Misalnya, perusahaan, yang masih mengalami kerugian perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang ke pemberian natura sehingga natura tersebut bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21. Dengan demikian, terjadi penghematan pajak 5-35%.
Menghindari Pelanggaran Terhadap Peraturan Perpajakan yang Berlaku
Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan yaitu :
1. Sanksi Administrasi, berupa bunga, denda atau kenaikan.
2. Sanksi Pidana, berupa pidana atau kurungan.
Penundaan Pembayaran Kewajiban Pajak
Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran sampai dengan batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan
Wajib pajak seringkali kurang mendapat informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan. Sebetulnya pembayaran tersebut merupakan pajak yang dibayar dimuka. Misalnya, kredit pajak untuk PPh badan terdiri dari PPh pasal 22 atas pembelian solar dan/atau impor dan fiskal luar negeri atas perjalanan dinas pegawai.
Dalam hal kredit pajak PPN (Pajak Masukan), Pengusaha Kena Pajak cukup menggunakan dokumen lain yang fungsinya sama dengan faktur pajak standar, seperti SPPB atau Surat Perintah Pengiriman Barang (delivery order) yang dikeluarkan oleh Bulog untuk penyaluran tepung terigu, PNBP (Paktur Nota Bon Penyerahan) yang diikeluarkan oleh pertamina untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM, serta tanda pembayaran atau kuintasi telepon.
BAB V
TAX PLANNING UNTUK PAJAK PENGHASILAN
Efisiensi Pajak Penghasilan Badan
Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih optimal apabila wajib pajak memahami timbulnya perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 17 tahun 2000 dan peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam perhitungan laba akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan pajak yang tepat sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar. Berikut ini adalah beberapa cara tax planning untuk PPh Badan.
1. Menunda Penghasilan
Misalnya, pembukuan perusahaan ditutup pada tanggal 31 Desember. Pada bulan Desember tersebut terdapat lonjakan permintaan. Pajak atas laba akibat lonjakan permintaan tersebut sudah harus dibayar paling lambat tanggal 25 Maret tahun berikutnya. Di samping itu, angsuran PPh Pasal 25 tahun berikutnya otomatis akan menjadi lebih besar. Bila memungkinkan, pengusaha dapat melakukan pendekatan kepada konsumen dan menjual barangnya pada awal bulan Januari tahun berikut. Dengan demikian, pembayaran pajaknya dapat ditunda 1 tahun.
2. Mempercepat Pembebanan Biaya
Pada akhir tahun fiskal sebaiknya dilakukan review untuk melihat apakah ada biaya-biaya yang dapat segera dibebankan pada tahun ini. Misalnya, biaya konsultan hukum, konsultan pajak, dan auditor. Dengan demikian, seperti halnya dengan penundaan penghasilan, langkah seperti ini akan dapat menunda pembayaran pajak setahun.
Namun demikian, di sisi lain, konsekuensi pembebanan biaya seperti di atas dapat mengakibatkan kewajiban pemotongan pajak seperti PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 (2) sudah harus dilakukan. Untuk itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan aspek perpajakan yang satu ini.
Ketika perusahaan untung, alternatif mempercepat pembebanan biaya seperti di atas akan lebih efektif karena PPh Badan dapat diturunkan sampai dengan 30% dari total biaya yang dibebankan, sedangkan dari sudut PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4(2), perusahaan harus memotong pajak sebesar masing-masing 6% atau 7,5% dan 10%.
3. Melakukan Pengujian Arus Piutang, Arus Barang, Arus Utang dan Arus Kas Saat Rekonsiliasi Fiskal
a. Atas penjualan, lakukan pengujian arus barang, arus piutang dan arus kas dengan formula sebagai berikut:
1) Arus barang
a) Penjualan dalam unit = saldo awal persediaan + pembelian – saldo akhir
b) Penjualan dalam rupiah = penjualan dalam unit x harga jual per unit
Apabila harga jual per unit berfluktuasi sepanjang tahun, dapat digunakan harga jual rata-rata, tetapi hasil perkaliannya hanya bersifat pendekatan
2) Arus uang
(Saldo akhir kas/bank + pengeluaran kas/bank – saldo awal kas/bank = penerimaan kas/bank)
3) Arus piutang usaha
a) Penjualan kredit = saldo akhir + pelunasan piutang usaha (diambil dari sisi kredit rekening koran) – saldo awal
b) Total penjualan = penjualan tunai + penjualan kredit
b. Atas harga pokok penjualan, lakukan pengujian arus utang dengan formula sebagai berikut:
1) Pembelian kredit = saldo akhir + pelunasan utang usaha – saldo awal
2) Total pembelian = pembelian tunai + pembelian kredit
4. Mengoptimalkan Pengkreditan Pajak yang Telah Dibayar
Selain angsuran PPh Pasal 25, PPh yang dapat dikreditkan atas PPh Badan yang terutang pada akhir tahun adalah PPh yang dipotong/pungut pihak lain dan sifat pemotongan/pemungutannya tidak final. Perusahaan seringkali kurang memperoleh informasi mengenai hal ini. PPh yang dapat dikreditkan antara lain:
a. PPh Pasal 22 atas impor atau pembelian solar dari Pertamina,
b. PPh Pasal 23 dari bunga non bank, royalti,
c. PPh Pasal 24 yang dipotong di luar negeri, dan
d. Pembayaran fiskal luar negeri karyawan (setoran a.n karyawan qq. Perusahaan berikut NPWP perusahaan),
e. STP PPh Pasal 25 (hanya pokok pajak) baik telah dibayar maupun belum.
f. PPh atas pengalihan tanah/bangunan,
Ketika menyusun rekonsiliasi fiskal, perusahaan harus memperoleh keyakinan yang cukup bahwa pajak yang dipotong/dipungut pihak lain benar-benar telah disetor oleh pemotong/pemungut pajak ke kas negara. Keyakinan demikian sangat diperlukan karena pada saat pemeriksaan pajak petugas akan menempuh prosedur konfirmasi ke bank tempat pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut disetorkan atau ke KPP tempat pemotong/pemungut tersebut melaporkan SPT-nya.
Salah satu caranya adalah dengan melakukan ekualisasi setiap bulan antara bukti fisik pemungutan PPh 22 dan/atau pemotongan PPh 23 dengan Uang Muka PPh terkait yang telah dicatat di neraca. Jika timbul selisih, atas selisih tersebut dapat segera ditindaklanjuti dengan cara meminta pihak pemungut/pemotong pajak untuk menyerahkan bukti pemungutan/ pemotongannya.
5. Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh pasal 25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
a. SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan,
b. kenaikan laba pada tahun yang lalu,
c. kenaikan pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D).
Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan terdaftar.
Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP terdaftar.
6. Mengelola Transaksi yang Biayanya Tidak Boleh Dikurangkan Secara Fiskal
Seringkali staf akunting perusahaan menggunakan istilah yang kurang tepat untuk biaya-biaya tertentu sehingga pada waktu pemeriksaan pajak biaya-biaya tersebut tidak dapat dikurangkan. Contohnya,
a. biaya promosi, biaya keamanan, biaya pemasaran dibukukan dengan nama sumbangan. Berdasarkan pasal 9 (1) huruf g UU PPh, sumbangan tidak diperkenankan dikurangkan sebagai biaya.
b. Biaya perjalanan dinas dibukukan sebagai biaya perjananan direksi yang mengesankan sebagai biaya liburan direksi.
c. Biaya latihan pegawai dibukukan sebagai biaya rekreasi pegawai.
d. Pemberian uang tips kepada oknum di institusi tertentu atau dalam rangka pengurusan dokumen dicatat sebagai biaya lain-lain atau biaya entertainment yang tak bisa didukung dengan daftar entertainment.
Khusus untuk butir d di atas, pembahasan lebih detil dapat dibaca di bagian lain yang mengupas biaya entertainment.
7. Menentukan Metode Gross-up dalam Withholding Tax
Perusahaan seringkali harus memotong PPh atas pembayaran kepada pihak ketiga (witholding taxes), sementara pihak yang menerima imbalan tersebut tidak bersedia dipotong pajaknya. Untuk mengatasi hal tersebut, berikut ini adalah ilustrasinya:
Uraian Alternatif A Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasi
- Jasa profesional 600.000 600.000 648.649 648.649
- Biaya pajak 45.000 - - -
645.000 600.000 648.649 648.649
Penghasilan neto 355.000 400.000 351.351 351.351
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 120.000 105.405
- PPh pasal 23 (7,5%) 45.000 48.649
165.000 154.054
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Jika perusahaan mengalami kerugian, perusahaan dapat menanggung biaya pajak tersebut dan, sebagai konsekuensinya, untuk keperluan rekonsiliasi fiskal (SPT PPh Badan) biaya pajak tersebut termasuk non deductible expense (Alternatif A).
b. Bila perusahaan dalam keadaan untung, biaya tersebut perlu digross-up sehingga nilai transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut (Alternatif B)
8. Penyertaan pada Perseroan Terbatas Dalam Negeri
Penyertaan modal saham pada PT dalam negeri dapat dilakukan atas nama PT atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, dividen yang diperolah perorangan tersebut dikenakan PPh Pasal 23. Akan tetapi, apabila modal sahamnya atas nama PT dan atau BUMN/D, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh, penerimaan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak sepanjang dipenuhi kriteria berikut:
a. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
b. Kepemilikan saham Perseroan Terbatas dan BUMN/D pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor, dan
c. Perseroan Terbatas dan BUMN/D tersebut harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
Syarat yang tercantum di butir a di atas mengandung pengertian bahwa kalau ternyata dividennya tidak dibagikan dari Retained Earning, tapi dari konversi agio saham, dividen tersebut otomatis menjadi objek pajak.
Untuk PT dan BUMN/D yang hanya bersifat sebagai investment holding dan memperoleh penghasilan hanya dari dividen anak perusahaan, sesuai dengan persyaratan di atas, dividen tersebut menjadi objek pajak. Agar dividen tersebut diperlakukan sebagai non objek pajak, investment holding company tersebut harus punya usaha aktif secara minimal.
9. Merger antara Perusahaan yang Terus Menerus Rugi dengan Perusahaan yang Laba
Dalam satu kelompok usaha kadangkala terdapat perusahaan yang terus merugi selama beberapa tahun, sedangkan perusahaan lainnya mudah menghasilkan laba. Secara kelompok perusahaan harus membayar PPh Badan atas laba yang lebih besar dari laba sebenarnya.
Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999, bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, akumulasi kerugian perusahaan yang merugi tersebut dapat dialihkan ke perusahaan gabungan sepanjang sebelumnya telah dilakukan revaluasi aktiva tetap. Bila kedua perusahaan tersebut digabungkan, secara konsolidasi perusahaan membayar atas laba sebenarnya.
10. Transaksi Afiliasi
a. Jenis transaksi afiliasi yang sangat berisiko bila ditinjau dari aspek perpajakan, di antaranya :
1) Untuk transaksi usaha, Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan biaya untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
2) Untuk pinjaman, Dirjen Pajak berwenang untuk menentukan tingkat bunga yang wajar atas transaksi utang piutang antar pihak yang mempunyai hubungan isitimewa. Hal ini berarti akan merugikan perusahaan karena perusahaan harus memotong PPh Pasal 23 berdasarkan tingkat bunga wajar dan ada kemungkinan dikenakan sanksi oleh pihak pajak karena kurang memotong. Bagi perusahan induk, atas penghasilan bunga tersebut akan dikoreksikan positif sehingga laba kena pajak akan lebih tinggi.
3) Atas transaksi utang piutang berupa reimbursment cost yang biasa dilakukan antar induk dan anak perusahaan memiliki kemungkinan adanya implikasi perpajakan berupa kewajiban memungut PPN dan/ atau memotong PPh Pasal 23. Hal ini dapat terjadi apabila pihak pajak mengindikasikan adanya objek pemungutan PPN dan objek pemotongan pajak atas transaksi utang piutang affiliasi tersebut.
b. Hal-hal yang harus dilakukan:
1) Diupayakan semaksimal mungkin agar transaksi pembelian barang atau pun pemanfaatan jasa, yang biasanya dilakukan melalui induk perusahan, dapat dilakukan langsung oleh perusahaan yang menggunakannya. Dengan demikian, tidak muncul adanya transaksi utang afiliasi antara anak perusahaan dengan induk perusahaan. Dengan cara ini, dapat diminimalkan risiko adanya pemungutan PPN maupun pemotongan PPh Pasal 23 karena transaksi utang piutang afiliasi.
2) Dalam hal dilakukan pemberian pinjaman kepada anak perusahaan tanpa bunga, harus terpenuhi kriteria sebagaimana disebutkan dalam Surat Dirjen Pajak No. S-165/PJ.312/1992 tanggal 15 Juli 1992 yaitu :
a) Pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham pemberi pinjaman itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain.
b) Modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman kepada perusahaan penerima pinjaman telah setor dalam keadan seluruhnya.
c) Pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan rugi.
d) Perusahaan penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Apabila salah satu dari keempat unsur di atas tidak terpenuhi, atas pinjaman tersebut akan dilakukan koreksi oleh kantor pajak dan menjadi terutang bunga dengan tingkat bunga wajar. Hal ini akan menambah beban biaya bagi perusahaan.
Karena itu, apabila ada transaksi pinjam meminjam antara perusahaan dengan induk perusahaan, perlu dibuat perjanjian pinjaman yang sekurang-kurangnya memuat tentang pokok pinjaman, jangka waktu, dan tingkat bunga yang dibebankan. Seandainya tidak ada pembebanan bunga, hal tersebut harus secara tegas dinyatakan di dalam perjanjian tersebut.
11. Piutang Tak Tertagih
Menurut UU PPh pasal 6 (1) huruf h, piutang yang nyata-nyata tidak dapat tagih dapat dibebankan sebagai biaya dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan rugi-laba komersial;
b. Telah diajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antar kreditur dan debitur yang bersangkutan;
c. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
d. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DirjenPajak.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif, sedangkan syarat kedua dan ketiga tersebut tidak mudah dilakukan oleh perusahaan. Syarat kedua dapat dilakukan dengan memberitahukan bukti publikasi yang sudah didapatkan. Alternatif lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menjual piutang kepada pihak lain (debt factoring) dengan harga setelah dikurangi penghapusan piutang yang tertagih tersebut dan mengurangkan kerugian penjualan tersebut sebagai beban.
12. Bunga Pinjaman dan Deposito
Seringkali uang kas yang menganggur (idle cash) untuk satu atau dua bulan perusahaan investasikan di bank dalam bentuk deposito berjangka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2000, atas bunga deposito dipotong pajak penghasilan yang bersifat final sebesar 20%.
Bila perusahaan tidak mempunyai utang, hal ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bila perusahaan tersebut mempunyai utang dengan tingkat bunga yang lebih besar dari tingkat bunga deposito, perusahaan tersebut akan mengalami kerugian karena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-46/PJ.42/1995, sebagian bunga atas utang tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
Untuk menghindari masalah tersebut, beberapa cara yang dapat ditempuh perusahaan, antara lain:
a. Perusahaan sebaiknya menempatkan dana yang belum dipergunakan dalam bentuk rekening giro, tidak dalam bentuk deposito. Jika memungkinkan dilakukan negosiasi dengan bank yang bersangkutan agar bunga gironya lebih besar dari biasanya karena saldo yang kita miliki cukup besar.
b. Alternatif lain yang dapat diambil adalah dengan memanfaatkan dana tersebut di dalam instrumen keuangan yang tidak terkena pajak final, misalnya promes, didepositokan di luar negeri, atau dipinjamkan pada perusahaan afiliasi.
13. Biaya Entertaiment
Seringkali perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal langsung melakukan koreksi fiskal positif atas biaya entertainment. Dengan demikian, perusahaan akan membayar pajak lebih besar 30% dari total biaya entertainment yang dikoreksi positif. Untuk menghindari beban pajak yang seharusnya, perusahaan membuat Daftar Nominatif dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh Badan serta menyimpan bukti pendukung pengeluaran entertainment tersebut. Dengan demikian, perusahaan akan memperoleh penghematan pajak sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan.
Daftar nominatif berisi :
a. Nomor urut.
b. Tanggal “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
c. Nama tempat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
d. Alamat “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
e. Jenis “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
f. Jumlah (Rp) “entertainment” dan sejenisnya yang telah diberikan.
g. Relasi usaha yang diberikan “entertainment” dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas (Nama, Posisi, Nama perusahaan, dan Jenis usaha)
Kadangkala perusahaan juga membebankan pemberian uang tips, uang pengurusan dokumen atau izin, uang jamuan pimpinan proyek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, pada akhir tahun biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh Badan.
Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga. Penghitungan pajaknya dilakukan dengan cara gross-up (Alternatif B) sehingga penghematan pajaknya dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi bila perusahaan merugi, PPh Badannya akan nihil sehingga pembebanan ke biaya entertainment (Alternatif A) dapat dilakukan untuk menghemat pajak.
Uraian Alternatif A Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasi
- Biaya entertainment 600.000 - - -
- Biaya honor - - 600.000 600.000
- Tunj. Pajak (gross-up) - - 31.579 31.579
600.000 - 631.579 631.579
Ph neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
Penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 di atas didasarkan asumsi bahwa setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp 25 juta. Dengan demikian, sesuai ketentuan pasal 5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000 jo Per-15/PJ/2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, di antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.
14. Pengelolaan Transaksi yang Berhubungan dengan Pemberian Kesejahteraan Karyawan
Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan.
a. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible (lihat Alternatif B).
b. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil (lihat Alternatif A).
Uraian Alternatif A Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasi
- Benefit in kind 600.000 - - -
- Benefit in cash - - 600.000 600.000
- Tunj. Pajak (gross-up) - - 31.579 31.579
600.000 - 631.579 631.579
Ph neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
15. Pendanaan Aktiva Tetap melalui Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease / Capital Lease)
Untuk efisiensi beban pajak, sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) sebaiknya dipilih karena jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan seluruh pembayaran leasing (pokok dan bunga) dapat dibiayakan.
Misalnya, dibeli kendaraan operasi secara capital lease. Harga tunainya Rp 100 juta, uang muka Rp 35 juta dan bunga untuk tenor 3 tahun sebesar Rp 19,5 juta dan cicilan per bulan Rp 2.347.222 yang sudah termasuk pokok dan bunga. Dengan demikian, biaya pembayaran leasing selama setahun yang termasuk deductible expense sebesar Rp 28.166.664. Sementara itu, bila kendaraan tersebut dibeli tidak dengan capital lease, biaya penyusutan yang boleh dibebankan sebesar Rp 12.500.000.
16. Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2)
Ekualisasi antara biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 21, 23/26, dan 4(2) dan masing-masing SPT Masa PPh sangat diperlukan agar selisih yang terjadi dapat segera diidentifikasi lebih dini. Secara ideal ekualisasi ini harus dilakukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak. Untuk lebih rincinya, pembahasan hal ini terdapat di bagian lain.
17. Ekualisasi omzet penjualan menurut SPT Tahunan PPh Badan dengan penyerahan menurut SPT Masa PPN selama satu tahun pajak.
Ekualisasi omzet PPh Badan dengan PPN juga sangat diperlukan sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak agar selisih yang timbul dapat diidentifikasi lebih dini dan dicarikan penyebabnya. Untuk lebih rincinya, pembahasan hal ini terdapat di bab lain.
Efisiensi PPh Pasal 21
1. Memahami Ketentuan PPh Pasal 21 dan Klasifikasi Objek PPh Pasal 21
Pemberi Penghasilan Jenis Penghasilan
Benefit in cash (BIC) Benefit in kind (BIK)
Pemerintah Objek Pajak Non Objek Pajak
Non Wajib Pajak Objek Pajak Objek Pajak
Wajib Pajak yang dikenakan PPh final Objek Pajak Objek Pajak
Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) Objek Pajak Objek Pajak
Wajib Pajak Lainnya Objek Pajak Non Objek Pajak
Pemberi penghasilan non wajib pajak yang dimaksud di dalam tabel di atas di antaranya adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi internasional yang digolongkan sebagai non subjek pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan. Untuk WP yang dikenakan PPh final, contohnya adalah perusahaan yang bergerak di dalam persewaan tanah/bangunan, sedangkan WP dengan deemed profit di antaranya adalah
a. Perusahaan charter pesawat (475/KMK.04/1996),
b. Perusahaan pelayaran dalam negeri (416/KMK.04/1996),
c. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) yang bergerak di bidang pelayaran/ penerbangan dalam jalur internasional (632/KMK.04/1994), dan
d. WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (634/KMK.04/1994).
2. Memahami Saat Terutangnya Pajak
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU PPh, objek PPh Pasal 21 terdiri dari penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Istilah “diterima” mengandung pengertian cash basis, sedangkan “diperoleh” itu accrual basis. Kedua istilah ini, jika dikaitkan dengan perlakukan akuntansi, terkait dengan mana yang lebih dulu antara pengakuan biaya dan pembayaran. Artinya, pajak harus dipotong pada saat mana yang lebih dulu antara pengakuan biaya atau pembayaran kepada penerima penghasilan.
3. Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21
a. Pajak ditanggung karyawan
Nama Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Biaya gaji 1.000.000
Utang PPh 21 50.000
Bank 950.000
b. Pajak ditanggung karyawan, tapi pemberi kerja memberikan tunjangan PPh senilai pajak terutang (metode gross-up)
Nama Akun Debit (Rp) Kredit (Rp)
Biaya gaji (DE) 1.000.000
Tunjangan pajak (DE) 52.632
Bank 1.000.000
Utang PPh 21 52.632
Dari sudut karyawan, model pertama (pajak ditanggung karyawan) merupakan model yang paling tidak disukai karena take home pay-nya hanya Rp 950.000, sedangkan bagi perusahaan perlu melihat aspek PPh Badannya. Berdasarkan ilustrasi di bawah ini, jika perusahaan untung, alternatif c perlu dipilih. Akan tetapi, jika perusahaan rugi, perlu dipilih alternatif b.
Uraian Alternatif a Alternatif c
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Biaya operasi
- Gaji 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
- Biaya pajak 50.000 - - -
- Tunj. Pajak (gross-up) - - 52.632 52.632
1.050.000 1.000.000 1.052.632 1.052.632
Penghasilan neto 450.000 500.000 447.368 447.368
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 150.000 134.211
- PPh pasal 21 (5%) 50.000 52.632
200.000 186.842
4. Menentukan benefit in cash atau benefit in kind untuk penghasilan pegawai
Strategi efisiensi PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini sangat tergantung dari kondisi perusahaan.
a. Pada perusahaan yang memperoleh Penghasilan Kena Pajak yang telah dikenakan tarif tertinggi (di atas Rp. 100 juta) dan pengenaan PPh Badannya tidak final, diupayakan seminimal mungkin diberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind) karena pengeluaran ini non-deductible (lihat Alternatif B).
b. Bagi perusahaan yang masih rugi, pemberian natura dan kenikmatan (fringe benefit ) akan menurunkan PPh Pasal 21 sementara PPh Badan tetap nihil (lihat Alternatif A).
Uraian Alternatif A Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasi
- Benefit in kind 600.000 - - -
- Benefit in cash - - 600.000 600.000
- Tunj. Pajak (gross-up) - - 31.579 31.579
600.000 - 631.579 631.579
Ph neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
Sebagaimana telah dibahas di atas tentang pemberian kesejahteraan karyawan, perusahaan yang masih rugi perlu meningkatkan penghasilan karyawan dalam bentuk benefit in kind agar PPh Pasal 21-nya dapat dihemat.
Akan tetapi, bila mengalami laba di atas Rp 100 juta, perusahaan masih juga harus mempertimbangkan nilai penghasilan yang diterima/diperoleh setiap pegawainya. Apabila ada pegawai yang memperoleh penghasilan di atas Rp 200 juta, lebih baik setiap tambahan penghasilannya diberikan dalam bentuk natura (Alternatif C) karena untuk WP perorangan tarif pajak tertinggi adalah 35% untuk lapisan penghasilan di atas Rp 200 juta, sedangkan tarif tertinggi PPh Badan 30%.
Uraian Alternatif C Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000
Biaya operasi
- Benefit in kind 600,000 - - -
- Benefit in cash - - 600,000 600,000
- Biaya pajak(ditanggung employer) - - 210.000 -
600,000 - 810,000 600,000
Ph neto 400,000 1,000,000 190,000 400,000
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300,000 120,000
- PPh pasal 21 (35%) - 210,000
300,000 330,000
5. Perlakuan pemberian uang tips yang dicatat ke dalam biaya entertainment
Kadangkala perusahaan juga membebankan pemberian uang tips, uang pengurusan dokumen atau izin, uang jamuan pimpinan proyek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, pada akhir tahun biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi ketika menghitung PPh Badan.
Uraian Alternatif A Alternatif B
LR Intern LR Fiskal LR Intern LR Fiskal
Penghasilan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasi
- Biaya entertainment 600.000 - - -
- Biaya honor - - 600.000 600.000
- Tunj. Pajak (gross-up) - - 31.579 31.579
600.000 - 631.579 631.579
Ph neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421
PPh yang dibayar
- PPh Badan (30%) 300.000 110.526
- PPh pasal 21 (5%) - 31.579
300.000 142.105
Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam pemberian honor atau imbalan kepada pihak ketiga. Penghitungan pajaknya dilakukan dengan cara gross-up (lihat Alternatif B pada tabel di atas) sehingga penghematan pajaknya dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi bila perusahaan merugi, PPh Badannya akan nihil sehingga pembebanan ke biaya entertainment (lihat Alternatif A pada tabel di atas) dapat dilakukan untuk menghemat pajak.
Penggunaan tarif 5% untuk PPh Pasal 21 di atas didasarkan asumsi bahwa setiap orang menerima uang tips tidak lebih dari Rp 25 juta. Dengan demikian, sesuai ketentuan pasal 5 huruf e angka 6 dan pasal 11 Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-545/PJ./2000 jo. Per-15/PJ./2006, honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, di antaranya terdiri dari pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu 5%.
6. Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21
Prosedur yang perlu ditempuh untuk melakukan ekualisasi ini adalah
a. Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21, khususnya yang terkait dengan pegawai tetap, dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
b. Untuk setiap transaksi yang masih terkait dengan objek PPh Pasal 21 dan nantinya dilaporkan ke dalam formulir 1721-B, harus diberi kode khusus pada deskripsinya, misalnya #21# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Pasal 21 dilaporkan ke kantor pajak.
c. Pada akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan perhitungan menurut SPT Tahunan PPh Pasal 21.
1) Jika masih timbul selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap yang dilaporkan di dalam formulir 1721-A, teliti akun yang menampung iuran Jamsostek dan pastikan bahwa iuran Jaminan Hari Tua tidak termasuk dalam objek PPh Pasal 21.
2) Jika selisih tersebut disebabkan dari penghasilan yang dilaporkan dalam formulir 1721-B, teliti kelompok penghasilan mana yang belum dipotong pajaknya.
Efisiensi PPh Pasal 22
1. Memahami ketentuan PPh Pasal 22 dan aturan pelaksanaannya.
2. Khusus untuk perusahaan yang sering melalukan impor barang dan harus membayar PPh Pasal 22 sebagai prepaid tax, perlu dicermati hal-hal berikut ini:
a. Pengajuan SKB dan “uang tambahan”
Di dalam praktiknya seringkali ditemukan bahwa proses pengajuan SKB PPh Pasal 22 harus membuat perusahaan mengeluarkan kocek tambahan untuk oknum petugas. SKB seringkali tidak dapat diterbitkan dengan segera apabila tidak ada “uang tambahan”. Hal demikian memang sulit sekali dibuktikan karena pemberian uang tambahan tersebut dilakukan secara tunai tanpa ada bukti tertulis.
Apabila jumlah PPh Pasal 22 yang akan diajukan pembebasan tidak begitu material bila dibandingkan dengan proses pengajuan dan “uang tambahan” seperti tersebut di atas, lebih baik perusahaan yang mengimpor barang tidak mengajukan permohonan SKB. Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus melunasi PPh Pasal 22. Meskipun demikian, pada saat penghitungan PPh Badan, perusahaan masih dapat memperhitungkan PPh Pasal 22 tersebut sebagai uang muka pajak.
b. Bukti pungut PPh Pasal 22 asli tapi palsu (aspal)
Terkadang perusahaan yang melakukan impor barang meminta pihak ketiga yang bergerak di bidang jasa kepabeanan (PPJK) untuk mengurusinya. Jika hal demikian dilakukan, waspadai adanya PPJK yang nakal.
Contoh:
PT MBR meminta PT A selaku PPJK untuk memproses impor mesin pabrik. Pada hari jumat atau sehari sebelum hari libur, PT A memberikan konfirmasi bahwa pengeluaran mesin yang baru saja diimpor tidak dapat diproses karena pajak-pajaknya belum dilunasi. Selanjutnya, PT A meminta PT MBR untuk segera memproses pembayaran. Pada kenyataannya, PT MBR terkadang sulit memproses pengeluaran uang dengan segera. Akibatnya, PT MBR meminta PT A untuk menanggung pajak-pajaknya dan akan menggantinya pekan berikutnya.
Yang terjadi adalah PT A tidak melakukan pembayaran pajak ke kas negara, tapi tetap membuat bukti pemungutan PPh Pasal 22. Di dalam bukti pemungutan tersebut tertera pihak pemungutnya adalah Kantor Pelayanan Bea Cukai (KPBC), nama dan tanda tangan pejabat yang berwenang, serta stempel KPBC tersebut. Atas bukti pemungutan PPh Pasal 22 tersebut, PT A melakukan penagihan kepada PT MBR melalui mekanisme reimbursement.
3. Khusus untuk BUMN/D yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 seperti diuraikan dalam tabel di bagian terakhir dari bab ini, perlu dicermati hal-hal berikut:
a. Pastikan bahwa pemasok barang bersedia untuk dipungut PPh Pasal 22-nya dan hal ini harus tertulis di dalam kontrak, Surat Perintah Kerja (SPK), atau dokumen sejenisnya.
b. Lakukan gross-up terhadap pembelian langsung yang tidak memungkinkan menggunakan kontrak, SPK atau dokumen sejenisnya, sementara pemasok barang tidak bersedia untuk dipungut pajaknya sesuai Pasal 22 UU PPh.
Efisiensi PPh Pasal 23
1. Pahami ketentuan yang mengatur PPh Pasal 23 dan tarif pemotongannya.
2. Pahami saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara terutang (accrual basis) atau dibayarkan (cash basis), yang merujuk pada ketentuan Pasal 23 UU PPh.
3. Pemisahan antara tagihan material dan jasa
Pastikan bahwa di dalam kontrak tentang pengadaan jasa, sebagaimana tersebut di tabel di bagian akhir dari bab ini, kecuali jasa konstruksi dan jasa catering, diatur mengenai pemisahan antara tagihan material dan jasa. Tujuannya adalah agar pajaknya hanya dikenakan atas jasanya.
4. Waspadai penagihan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (labor/manpower supplier).
Contoh:
PT MBR mendapatkan tagihan dari manpower supplier PT X sebesar Rp 100 juta yang terinci menjadi Rp 10 juta untuk jasa dan Rp 90 juta untuk biaya gaji yang telah dibayarkan kepada karyawannya yang dipekerjakan di PT MBR. Atas tagihan tersebut, PT MBR harus memotong PPh Pasal 23 sebesar 6% dari Rp 100 juta, bukan Rp 10 juta. Alasannya, berdasarkan Pasal 1 Keputusan Dirjen Pajak No. 170/PJ./2002, dijelaskan bahwa pemisahan dapat dilakukan jika terdapat unsur jasa dan material/barang.
Sementara itu, Rp 90 juta yang merupakan biaya gaji dibayarkan kepada karyawan PT X, bukan PT MBR, sehingga mekanisme reimbursement tidak dapat dilakukan. Karena itu, pengenaan pajaknya dilakukan atas seluruh tagihan PT X.
5. Memahami pengenaan pajak untuk jasa konstruksi
a. Pastikan bahwa di dalam kontrak tentang pengadaan jasa konstruksi diatur bahwa penyedia jasa harus menyerahkan Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) yang diterbitkan oleh asosiasi pengusaha jasa konstruksi yang sah. Tujuannya agar pengenaan pajaknya sesuai dengan tarif PPh untuk jasa konstruksi atas seluruh tagihan tanpa ada pembedaan antara material dan jasa.
b. Apabila penyedia jasa tidak dapat menunjukkan SIUJK yang sah, pajak harus dipotong sebesar 6% dari total tagihan sepanjang tidak ada pemisahan antara material dan jasa. Jika ada pemisahan, pengenaan pajak hanya atas jasanya.
Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 23
1. Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 23, khususnya yang terkait dengan objek PPh Pasal 23 dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
2. Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh Pasal 23, harus diberi kode khusus pada deskripsinya, misalnya #23# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak.
3. Pada akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 23 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh Pasal 23. Jika masih timbul selisih, teliti
a. Apakah pemotongan pajaknya dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva).
b. Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.
Efisiensi PPh Pasal 26
1. Pahami ketentuan PPh Pasal 26 secara komprehensif.
2. Pahami saat terutangnya pajak, yaitu saat mana lebih dulu antara terutang (accrual basis) atau dibayarkan (cash basis), sebagaimana diuraikan dalam Pasal 26 UU PPh
3. Pahami isi tax treaty untuk tiap negara, khususnya yang berkaitan dengan transaksi yang dilakukan oleh perusahaan di dalam negeri dalam hal pembayarannya dilakukan ke perusahaan di luar negeri.
a. Tuangkan klausul tentang kewajiban perusahaan di luar negeri yang menerima penghasilan untuk
1) menyediakan Surat Keterangan Domisili atau SKD (Certificate of Domicile atau CoD) sesuai dengan tahun diperolehnya penghasilan,
2) memutakhirkan SKD tersebut setiap tahunnya, dan
3) menyediakan salinan paspor tenaga ahli asing yang berkunjung ke Indonesia
b. Minimalkan kunjungan tenaga ahli dari luar negeri sehubungan dengan jasa profesional agar timetest sebagaimana diatur di dalam tax treaty tidak terlampaui
4. Manfaatkan Tax Havens Countries untuk meminimalkan Beban Pajak (tax burden)
Banyak perusahaan grup multinasional menggunakan tax havens sebagai media untuk tidak membayar pajak atas suatu transaksi. Biasanya sangat mudah untuk menciptakan transaksi tanpa pajak atau pajak yang sedikit melalui pergeseran pembayaran di negara tax havens.
Misalnya, PT ABC dimiliki oleh SingTel Pte. Ltd. Singapura melalui anak perusahaannya SPV SingTel Ltd. yang berada di British Virgin Island atau BVI (sebuah kepulauan kecil yang berada di kepulauan Karibia Amerika). Apabila dipandang sudah tidak menguntungkan lagi, PT ABC tersebut dapat dijual ke perusahaan lainnya. Namun demikian, yang dijual adalah saham SingTel Pte. Ltd. di SPV SingTel Ltd., bukan saham SPV SingTel Ltd. di PT ABC. Sebagai konsekuensinya, PPh final sebesar 5% sebagaimana diatur dalam Keputusan Menkeu No. 434/KNK.04/1999 tidak akan dikenakan karena pemilik saham PT ABC secara langsung tetap perusahaan di BVI.
Efisiensi PPh Pasal 4(2)
1. Tingkatkan pemahaman yang komprehensif terhadap ketentuan PPh Pasal 4(2) khususnya yang terkait dengan sewa tanah dan atau bangunan.
2. Pahami saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara saat terutang (accrual basis) atau saat dibayarkan (cash basis).
3. Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 4(2)
a. Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 4(2), khususnya yang terkait dengan objek PPh Pasal 4(2) dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
b. Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh Pasal 4(2), harus diberi kode khusus pada deskripsinya, misalnya #4(2)# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak.
c. Pada akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 4(2) yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh Pasal 4(2). Jika masih timbul selisih, teliti
1) Apakah pemotongan pajaknya dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva).
2) Apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.
Efisiensi PPh Pasal 15
1. Tingkatkan pemahaman yang komprehensif terhadap ketentuan PPh Pasal 15 seperti tergambar secara ringkas berikut ini.
Penerima penghasilan Dasar pengenaan pajak Tarif pajak Sifat Pemotongan Referensi
Perusahaan pelayaran dalam negeri Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima/diperoleh dari dari pengangkutan orang dan/atau barang 1,2% Final Kepmenkeu No. 416/KMK.04/1996 juncto
SE-29/PJ.4/1996
Perusahaan penerbangan dalam negeri Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima/diperoleh berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri 1,8% Uang Muka PPh Pasal 23 bagi penerima penghasilan Kepmenkeu No. 475/KMK.04/1996 juncto
SE-35/PJ.4/1996
Perusahaan pelayaran atau penerbangan luar negeri semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pengangkutan orang/atau barang yang dimuat dari atau menuju satu atau lebih pelabuhan di Indonesia ke luar negeri atau sebaliknya 2,64% Final Kepmenkeu No. 632/KMK.04/1994 juncto
SE-32/PJ.4/1996
2. Pahami saat terutangnya pajak, yaitu saat mana yang lebih dulu antara saat terutang (accrual basis) atau saat dibayarkan (cash basis).
3. Ekualisasi biaya yang terkait dengan objek PPh Pasal 15
a. Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 15 dikumpulkan menjadi satu kelompok akun.
b. Jika prosedur di atas tidak dapat ditempuh secara maksimal, atas setiap transaksi yang terkait dengan objek PPh Pasal 15, harus diberi kode khusus pada deskripsinya, misalnya #15# di awal deskripsinya. Hal ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT Tahunan PPh Badan dilaporkan ke kantor pajak.
c. Pada akhir tahun seluruh objek PPh Pasal 15 yang tersebar di akun-akun biaya/beban menurut buku besar dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan objek pajak menurut SPT Masa PPh Pasal 15. Jika masih timbul selisih, teliti
1) apakah pemotongan pajaknya dilakukan pada saat pengakuan prepaid expenses di neraca (aktiva).
2) apakah terdapat pengakuan provisi biaya atau accrued expense di dalam neraca (kewajiban) yang belum menimbulkan kewajiban pemotongan pajak.
BAB VI
TAX PLANNING UNTUK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Efisiensi Pajak Keluaran
1. Untuk perusahaan yang berorientasi pada ekspor barang kena pajak, manfaatkan fasilitas PPN yang diberikan di kawasan berikat. Dalam hal ini perusahaan harus menjadi Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB). Dengan demikian, atas ekspor BKP tersebut , PPN terutang sebesar 0%, sedangkan PPN Masukannya dapat dikreditkan sepenuhnya.
2. Penerbitan faktur pajak keluaran
a. Pastikan bahwa penerbitan faktur pajak sudah sesuai dengan ketentuan, baik waktu dan validitasnya.
b. Terbitkan faktur pajak keluaran pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan apabila karakteristik penjualan produknya menunjukkan bahwa piutang usaha dilunasi dalam jangka waktu lebih dari satu bulan. Dengan cara demikian, pelunasan PPN Keluaran ke kas negara dapat ditunda.
c. Terbitkan faktur pajak keluaran pada saat menerbitkan faktur komersial jika karakteristik penjualan produknya menunjukkan bahwa piutang usaha dilunasi dalam jangka waktu tidak lebih dari satu bulan. Dengan cara demikian, proses ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan penyerahan menurut SPT Masa PPN lebih mudah dilakukan.
d. Terbitkan faktur pajak pada saat diterima pembayaran termin, khususnya untuk penyerahan yang didasarkan pada metode prosentase penyelesaian (percentage-of-completion method), seperti jasa asistensi, jasa audit, atau jasa konstruksi.
3. Pastikan bahwa faktur pajak yang cacat (void) tetap disimpan secara baik karena biasanya perusahaan langsung mencetak nomor seri faktur pajak secara berurutan pada saat faktur pajak tersebut dibuat. Dengan demikian, pada saat pemeriksa pajak melakukan sampling test dalam bentuk pengurutan nomor seri faktur pajak keluaran, penemuan nomor yang tidak urut di formulir 1195-A1 dapat langsung bisa diklarifikasi.
4. Pastikan bahwa diskon tercantum di dalam faktur pajak standar agar dasar pengenaan PPN-nya dapat berkurang sebesar diskon tersebut.
5. Pastikan bahwa item “Harga Jual/Penggantian/Termijn/Uang Muka” di dalam setiap faktur pajak yang diterbitkan dicoret sesuai dengan petunjuk “Coret yang tidak perlu”.
6. Lakukan ekualisasi antara omzet penjualan menurut PPh Badan dan penyerahan menurut rekapitulasi SPT Masa PPN selama satu tahun pajak. Apabila terdapat selisih, teliti unsur-unsur berikut ini:
a. Penggunaan kurs yang berbeda pada saat pencatatan ke buku besar yang biasanya digunakan kurs tengah BI dan pada saat pembuatan faktur pajak yang biasanya digunakan kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan yang terbit setiap minggunya (kurs pajak).
b. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma yang tidak diakui sebagai penjualan menurut PPh Badan, tapi diakui sebagai penyerahan terutang PPN.
c. Penjualan di bulan Desember yang faktur pajaknya dibuat di bulan Januari tahun berikutnya.
d. Objek PPN yang tidak seluruhnya dicatat pada akun pendapatan usaha, tapi di pendapatan dari luar usaha.
e. Penggunaan percentage-of-completion method untuk perusahaan konstruksi. Dalam hal ini secara PPh Badan pengakuan penghasilan sudah menjadi objek PPh, tapi secara PPN pengakuan tersebut belum merupakan penyerahan yang terutang PPN karena PPN terutang pada saat diterima pembayaran termin.
Efisiensi Pajak Masukan
1. Pastikan bahwa faktur pajak standar yang diterima dari pemasok tidak cacat
2. Mintakan segera faktur pajak masukan tersebut agar dapat dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat pelaporan SPT Masa PPN.
3. Lakukan transaksi dengan pemasok yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak agar seluruh pajak masukannya dapat dikreditkan dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur di dalam Pasal 33 UU KUP dapat dihindari (Pasal 33 tersebut sudah dihapus dalam UU Nomor 18 tahun 2007).
4. Tuangkan di dalam klausul perjanjian bahwa PPN, yang dipungut oleh pemasok, disetorkan dan dilaporkan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Apabila tidak, sanksi dapat dikenakan terhadap pemasok yang wanprestasi. Hal ini perlu dilakukan karena pada saat pemeriksaan petugas selalu menempuh prosedur konfirmasi atas setiap PPN yang telah dipungut. Konfirmasi dilakukan pada KPP tempat pemasok tersebut terdaftar. Apabila jawaban konfirmasinya negatif, otomatis pemeriksa pajak tidak dapat mengakui pengkreditan yang telah dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tengah diperiksa.
Selasa, 27 Januari 2009
Minggu, 21 Desember 2008
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENJAMIN TIDAK MEMERIKSA WAJIB PAJAK YANG SUNSET POLICY
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak DR Darmin Nasution menjamin aparatnya tidak akan memeriksa pajak WP dalam laporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan yang memanfaatkan sunset policy.
“Kami juga tidak akan mengutak-atik pajak WP tersebut. Jadi sayang sekali kalau sunset policy ini tidak dimanfaatkan,” kata Darmin.
Dirjen Pajak memaparkan masalah perpajakan khususnya pemanfaatan sunset policy pajak di Tiara Convention Center Medan Rabu [17/12 ] sore (pukul 14.00-16.00 WIB).
Dihadapan ratusan peserta wajib pajak, Dirjen dalam dialog ‘Sunset Policy tahun 2008 dan UU Pajak Penghasilan (PPh)’ didampingi Direktur PPh Sumihar Petrus Tambunan, Kakanwil Ditjen Pajak Sumut I Ramram Brahmana dan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut II Zulfikar dan Kakanwil Ditjen Pajak NAD.
Darmin menegaskan di era reformasi birokrasi sekarang tidak mudah main-main dengan aparat Pajak dan hindarilah itu. Sebab kalaupun ada permainan pajak pasti lambat laun akan ketahuan juga dan sanksinya sangat berat baik terhadap wajib pajak (WP) maupun aparat pajak.
Ia menjelaskan reformasi perpajakan sejak tahun 2006 berarti merombak Ditjen Pajak dari dalam, melakukan perbaikan seperti struktur perpajakan, prosedur dan bisnis proses p;elayanan dan penggunaan UU bidang perpajakan.
Juga memperbaiki supporting (program kerja, kualitas SDM karyawan yang tidak bisa cepat). Perbaikan gaji pegawai Ditjen Pajak di mana gajinya tidak di bawah gaji perusahaan menengah sehingga pegawai bisa hidup tenang dan layak.
Reformasi jilid II berakhir bersamaan dengan berakhirnya sunset policy pada 31 Desember 2008. Reformasi membedakan fungsi petugas melayani, memeriksa dan ekstensifikasi. Jadi mengurangi satu faktor yang sering disalahgunakan.
Dalam reformasi ini, kata Dirjen, bila aparat pajak dan WP saling bekerjasama maka lama-lama akan ketahuan dan akhirnya WP kena denda sedikitnya 400 persen. Sekarang kita beri kesempatan kepada WP untuk memperbaikinya. Inilah makanya dibuat sunset policy supaya ada waktu bagi wp untuk membetulkan semua syarat-syaratnya.
Menurut Darmin, kita masih ketinggalan dalam pengumpulan pajak dibanding negara lain. Harusnya penerimaan pajak itu 20-21 persen dari produk domestik (GDP). Artinya dibanding negara lain, kita masih ketinggalan sekira 4 persen atau setara dengan Rp200 triliuh. Untuk itulah sunset policy dibuat bukan merupakan jebakan melainkan murni ingin meningkatkan penerimaan karena sunset tidak berurusan dengan harta kekayaan tapi penghasilan.
Dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), katanya, disebutkan keuntungan sunset policy antara lain kalau bayar pajak tidak kena denda. Dijamin tidak akan diperiksa jika ada pembetulan, kecuali kalau datanya bohong maka disarankan betulkan dengan benar dan tidak akan menanyakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun menghubung-hubungkannya dengan pajak lain. “Yang penting bagi kita berapa penghasilan pajaknya dan sekarang bayar,” katanya.
Darmin juga menyarankan kepada konsultan pajak agar tidak lagi menutupi pajak WP. Sebab sunset policy ini bukan jebakan, jadi tidak ada kompromi dengan WP. Sekira 70.000 WP terbesar sudah kita buat profilenya.
Ia mengakui program sunset policy ini membuahkan hasil positip jika dilihat dari meningkatnya pengurusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari 7.000-8.000 per hari kini pada Desember 2008 naik jadi 75.000 per hari.
Penerimaan
Menyinggung penerimaan, Darmin menyebutkan sampai Desember 20089 terealisasi Rp 508 triliun atau 95 persen lebih dari target Rp 534,5 triliun. Penerimaan terbesar dari kanwil large tax office (LTO) dengan WP besar perusahaan swasta maupun BUMN
“Kami juga tidak akan mengutak-atik pajak WP tersebut. Jadi sayang sekali kalau sunset policy ini tidak dimanfaatkan,” kata Darmin.
Dirjen Pajak memaparkan masalah perpajakan khususnya pemanfaatan sunset policy pajak di Tiara Convention Center Medan Rabu [17/12 ] sore (pukul 14.00-16.00 WIB).
Dihadapan ratusan peserta wajib pajak, Dirjen dalam dialog ‘Sunset Policy tahun 2008 dan UU Pajak Penghasilan (PPh)’ didampingi Direktur PPh Sumihar Petrus Tambunan, Kakanwil Ditjen Pajak Sumut I Ramram Brahmana dan Kakanwil Ditjen Pajak Sumut II Zulfikar dan Kakanwil Ditjen Pajak NAD.
Darmin menegaskan di era reformasi birokrasi sekarang tidak mudah main-main dengan aparat Pajak dan hindarilah itu. Sebab kalaupun ada permainan pajak pasti lambat laun akan ketahuan juga dan sanksinya sangat berat baik terhadap wajib pajak (WP) maupun aparat pajak.
Ia menjelaskan reformasi perpajakan sejak tahun 2006 berarti merombak Ditjen Pajak dari dalam, melakukan perbaikan seperti struktur perpajakan, prosedur dan bisnis proses p;elayanan dan penggunaan UU bidang perpajakan.
Juga memperbaiki supporting (program kerja, kualitas SDM karyawan yang tidak bisa cepat). Perbaikan gaji pegawai Ditjen Pajak di mana gajinya tidak di bawah gaji perusahaan menengah sehingga pegawai bisa hidup tenang dan layak.
Reformasi jilid II berakhir bersamaan dengan berakhirnya sunset policy pada 31 Desember 2008. Reformasi membedakan fungsi petugas melayani, memeriksa dan ekstensifikasi. Jadi mengurangi satu faktor yang sering disalahgunakan.
Dalam reformasi ini, kata Dirjen, bila aparat pajak dan WP saling bekerjasama maka lama-lama akan ketahuan dan akhirnya WP kena denda sedikitnya 400 persen. Sekarang kita beri kesempatan kepada WP untuk memperbaikinya. Inilah makanya dibuat sunset policy supaya ada waktu bagi wp untuk membetulkan semua syarat-syaratnya.
Menurut Darmin, kita masih ketinggalan dalam pengumpulan pajak dibanding negara lain. Harusnya penerimaan pajak itu 20-21 persen dari produk domestik (GDP). Artinya dibanding negara lain, kita masih ketinggalan sekira 4 persen atau setara dengan Rp200 triliuh. Untuk itulah sunset policy dibuat bukan merupakan jebakan melainkan murni ingin meningkatkan penerimaan karena sunset tidak berurusan dengan harta kekayaan tapi penghasilan.
Dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), katanya, disebutkan keuntungan sunset policy antara lain kalau bayar pajak tidak kena denda. Dijamin tidak akan diperiksa jika ada pembetulan, kecuali kalau datanya bohong maka disarankan betulkan dengan benar dan tidak akan menanyakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun menghubung-hubungkannya dengan pajak lain. “Yang penting bagi kita berapa penghasilan pajaknya dan sekarang bayar,” katanya.
Darmin juga menyarankan kepada konsultan pajak agar tidak lagi menutupi pajak WP. Sebab sunset policy ini bukan jebakan, jadi tidak ada kompromi dengan WP. Sekira 70.000 WP terbesar sudah kita buat profilenya.
Ia mengakui program sunset policy ini membuahkan hasil positip jika dilihat dari meningkatnya pengurusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari 7.000-8.000 per hari kini pada Desember 2008 naik jadi 75.000 per hari.
Penerimaan
Menyinggung penerimaan, Darmin menyebutkan sampai Desember 20089 terealisasi Rp 508 triliun atau 95 persen lebih dari target Rp 534,5 triliun. Penerimaan terbesar dari kanwil large tax office (LTO) dengan WP besar perusahaan swasta maupun BUMN
SUNSET POLICY
Adanya kebijakan baru Sunset Policy, yaitu penghapusan sanksi administrasi bagi wajib pajak, yang dikeluarkan Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadikan Pemerintah semakin optimis dalam meningkatkan penerimaan negara pada 2008.
Direktur Humas dan Penyuluhan Ditjen Pajak, Djoko Slamet Surjoputro di Jakarta, Jumat (14/3), mengatakan, kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada wajib pajak (WP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan penyerahan Surat Pajak Terhutang (SPT).
''Pelaks anaan sunset policy cukup signifikan bagi APBN. Meski dampaknya bersifat tidak langsung, karena melalui usaha ini, penerimaan pajak tahun 2008 diharapkan akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Pada 2007 realisasi penerimaan pajak tumbuh 24,72% atau lebih dari 70% dari penerimaan APBN,'' katanya.
Selain itu, Sunset Policy merupakan salah satu usaha DJP membangun kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan ini pemerintah berusaha membangun kepercayaan masyarakat melalui modifikasi kebijakan dan modernisasi teknologi informasi guna meningkatkan pelayanan.
''Sa at kini Ditjen Pajak sedang berusaha untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada kami,'' ujarnya.
Dia mengatakan, untuk bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka Ditjen Pajak menggunakan sistem penilaian pajak dengan metode self assessment, karena hampir semua negara menggunakan sistem seperti ini.
Selain itu, dalam sistem self assesment, WP diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung pajak terhutangnya sendiri. Karena, aturan yang berlaku selama ini, Ditjen Pajak lah yang menghitung pajak yang akan dibebani terhadap WP.
''Saat seperti itulah yang berpotensi menjadi celah oknum pajak untuk menyalahgunakan wewenang dengan saling tawar-menawar antara petugas pajak dan WP. Ini yang akan kami hindari, karena kami menginginkan citra negatif yang melekat pada kantor pajak tidak ada lagi,'' katanya.
Secara umum Sunset Policy adalah penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.
Sun set Policy mulai berlaku efektif bersamaan dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada 1 Januari 2008 dan berakhir pada 31 Desember 2008.
Sementara , I Gusti Nyoman Sanjaya selaku Kepala Seksi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan I, Ditjen Pajak menambahkan, kebijakan ini dapat memberi insentif menarik untuk meningkatkan kesadaran masyakarat terhadap kewajiban pajaknya.
Alasa n tersebut diungkapkan karena, WP yang dengan kemauan sendiri, dapat membetulkan SPT dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Ditjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
'' Jadi, kalau bisa masyarakat yang belum punya NPWP, saya sarankan untuk membuatnya pada tahun ini juga. Karena akan bebas dari sanksi administrasi,'' katanya.(T.Ia/toeb/b)
Direktur Humas dan Penyuluhan Ditjen Pajak, Djoko Slamet Surjoputro di Jakarta, Jumat (14/3), mengatakan, kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kesadaran kepada wajib pajak (WP) untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan penyerahan Surat Pajak Terhutang (SPT).
''Pelaks anaan sunset policy cukup signifikan bagi APBN. Meski dampaknya bersifat tidak langsung, karena melalui usaha ini, penerimaan pajak tahun 2008 diharapkan akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Pada 2007 realisasi penerimaan pajak tumbuh 24,72% atau lebih dari 70% dari penerimaan APBN,'' katanya.
Selain itu, Sunset Policy merupakan salah satu usaha DJP membangun kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Karenanya, dengan kebijakan ini pemerintah berusaha membangun kepercayaan masyarakat melalui modifikasi kebijakan dan modernisasi teknologi informasi guna meningkatkan pelayanan.
''Sa at kini Ditjen Pajak sedang berusaha untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada kami,'' ujarnya.
Dia mengatakan, untuk bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat, maka Ditjen Pajak menggunakan sistem penilaian pajak dengan metode self assessment, karena hampir semua negara menggunakan sistem seperti ini.
Selain itu, dalam sistem self assesment, WP diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung pajak terhutangnya sendiri. Karena, aturan yang berlaku selama ini, Ditjen Pajak lah yang menghitung pajak yang akan dibebani terhadap WP.
''Saat seperti itulah yang berpotensi menjadi celah oknum pajak untuk menyalahgunakan wewenang dengan saling tawar-menawar antara petugas pajak dan WP. Ini yang akan kami hindari, karena kami menginginkan citra negatif yang melekat pada kantor pajak tidak ada lagi,'' katanya.
Secara umum Sunset Policy adalah penghapusan sanksi administrasi WP yang terbagi atas dua bagian, yaitu Pertama, WP yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan SPT penghasilan sebelum tahun pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak.
Kedua, wajib pajak orang pribadi yang dalam tahun 2008 mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara sukarela dan menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya, diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar, untuk tahun pajak 2007 dan tahun sebelumnya.
Sun set Policy mulai berlaku efektif bersamaan dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada 1 Januari 2008 dan berakhir pada 31 Desember 2008.
Sementara , I Gusti Nyoman Sanjaya selaku Kepala Seksi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktorat Peraturan Perpajakan I, Ditjen Pajak menambahkan, kebijakan ini dapat memberi insentif menarik untuk meningkatkan kesadaran masyakarat terhadap kewajiban pajaknya.
Alasa n tersebut diungkapkan karena, WP yang dengan kemauan sendiri, dapat membetulkan SPT dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Ditjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
'' Jadi, kalau bisa masyarakat yang belum punya NPWP, saya sarankan untuk membuatnya pada tahun ini juga. Karena akan bebas dari sanksi administrasi,'' katanya.(T.Ia/toeb/b)
Selasa, 22 Juli 2008
Mampukah ASW atasi transfer pricing?
Bukan rahasia umum untuk meminimalisasi pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi kecil keuntungan.
Atas dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.
Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.
Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).
Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan untuk negara-negara anggota OECD.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.
Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak.
Komplikasi praktik
Untuk menggambarkan kompleksitas rekayasa penghindaran pajak dengan transfer pricing di bawah ini diberikan contoh ilustratif. X Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Malaysia, Hong Kong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan dari X Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hong Kong dan dari Hong Kong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US$100, dari Hong Kong ke Singapura dihitung US$200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US$300. Di Indonesia dijual dengan US$400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US$300.
Dengan transfer pricing laba tersebut dialokasikan ke Jepang, Hong Kong, Singapura dan Indonesia. Padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya saja yang mampir-mampir. Karena perusahaan Indonesia dianggap memakai jasa broker Trading House Singapura, maka harus membayar komisi US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman dari grup dengan bunga 15% atau US$45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal US$5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$25.
Dari contoh tersebut akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa grup untung sekurang-kurangnya US$300, yang diperoleh dari penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia tetapi perusahaan di Indonesia malah menderita rugi US$25. Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari perusahaan yang merugi tersebut. Dengan rekayasa transfer pricing, Indonesia tidak mendapat alokasi laba padahal laba grup tidak akan ada kalau barang tersebut tidak rekayasa semuanya itu dibeli oleh orang Indonesia. Karena dilakukan di luar Indonesia, pemeriksa pajak tidak punya akses data ke sana. Ini merupakan masalah yang pelik untuk pembuktiannya.
Single document
Karena sesuatunya sudah diatur secara rapi dan canggih secara formal (on paper) pemeriksa akan kesulitan untuk melakukan koreksi rekayasa tersebut. Untuk memperkirakan arm's length profit dari perusahaan Indonesia, umumnya pemeriksa memberlakukan metode resale price (harga jual minus). Kendala dari metode ini adalah tidak mudahnya mendapatkan data laba kotor yang wajar. Apalagi menyangkut bukti dokumen yang berada di luar yurisdiksi Indonesia. Tentu akan dengan mudah koreksi transfer price dipatahkan oleh wajib pajak.
Hukum pajak adalah hukum material yang dapat mengesampingkan bukti formal Masalahnya ialah bagaimana membawa yang material itu ke dalam yang formal sehingga mempermudah pembuktian. Apakah dengan single document system seperti digagas dalam Asean Single Window (ASW) bisa menjembatani hal ini. Dalam transaksi ekspor-impor, subtansi transaksi penyerahan barangnya hanya satu melibatkan dua pihak eksportir dan importir di kedua negara. Dalam single document system ini kepabeanan dari Singapura dan Indonesia akan menjalin kerja sama untuk menyediakan satu dokumen saja yang diisi untuk kepentingan eksportir Singapura dan importir Indonesia karena informasinya sama. Nampaknya dengan kerja sama demikian, praktik perdagangan tidak fair, seperti over pricing biaya (atau under pricing penghasilan) mungkin dapat tereliminasi.
Apalagi kalau single document system ini dilengkapi dengan pertukaran data manifes secara online. Namun, dalam kasus di atas harus diingat secara fisik barang dikirim langsung dari Jepang ke Indonesia. Karena fisik barang tidak berasal dari Singapura tentu manifes juga tidak dari Singapura tetapi dari Jepang langsung ke Indonesia. Kalau dengan semangat kerja sama antarnegara, dalam sistem single document, karena dokumen berasal dari Hong Kong maka Singapura akan menunjuk balik ke Hong Kong.
Seterusnya karena dokumen berasal dari Jepang, Hong Kong merujuk balik ke Jepang dan akan berakhir dengan single dokumen diisi oleh Jepang dan Indonesia sesuai dengan arus fisik barang.
Dengan dokumen tunggal, Indonesia dan Jepang tahu bahwa barang yang diproduksi di Jepang itu dijual di Indonesia dengan harga US$400. Kalau konsisten untuk mengakui harga di sana adalah US$100, berarti Indonesia dapat mengenakan pajak atas laba US$300. Namun yang menjadi pertanyaan apakah Singapura dan Hong Kong mau mengesampingkan kepentingan mereka demi berjalannya kerja sama regional dalam sistem dokumen tunggal? Atau bisa jadi untuk melindungi kepentingan negara mereka, Hong Kong dan Singapura meminta agar kapal pengangkut barang dari Jepang ke Indonesia mampir di Hong Kong dan kemudian ke Singapura sehingga bisa membuat manifes? Kalau demikian yang dilakukan tentu transfer pricing tidak akan terselesaikan dengan sistem single document karena masih rentan rekayasa.
Selain itu, apabila rekayasa transfer pricing atas barang fisik dapat diatasi dengan single document bagaimana dengan rekayasa pinjaman finansial dengan bunga tinggi dan rekayasa jasa untuk menerbangkan laba dan dana dari Indonesia?
Oleh Gunadi
Guru Besar Perpajakan FISIP UI
Atas dasar itu wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan transfer pricing. Transfer pricing merupakan terminologi yang secara umum merujuk pada upaya rekayasa alokasi keuntungan antarbeberapa perusahaan dalam satu grup perusahaan multinasional. Secara keseluruhan yang terpenting dari akhir kegiatan adalah laba setelah pajak dari grup.
Transfer pricing menyebabkan ketidakadilan dalam perpajakan karena perbedaan struktur perusahaan. Perusahaan yang dipecah-pecah menjadi suatu grup dapat merekayasa laba sehingga meminimalkan pajak. Sementara itu, perusahaan tunggal harus membayar pajak seperti apa adanya. Untuk menegakkan keadilan perpajakan dimaksud, buku Tax Law Design and Drafting terbitan IMF 1996, merekomendasikan dua pendekatan. Pertama, dengan merumuskan dalam ketentuan domestik, suatu negara dapat mengambil laba global grup dan mengalokasikan sebagian laba tersebut berdasar formula tertentu kepada sumber yang berada di negaranya dan kemudian memajaki bagian laba dimaksud.
Kedua, suatu negara dapat menentukan laba dari cabang usaha (bentuk usaha tetap) atau anak perusahaan yang beroperasi di negaranya terpisah dari grup berdasar harga yang wajar yang seharusnya terjadi apabila transaksi dilakukan dengan pihak di luar grupnya (arm's length price).
Dari kedua pendekatan tersebut, UU Pajak Penghasilan (PPh) menyebut pendekatan kedua (pendekatan harga dan laba wajar- arm's length profits). Hal ini sejalan dengan praktik pemajakan internasional yang berterima umum dan dianjurkan untuk negara-negara anggota OECD.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh menegaskan pemberlakuan arm's length price dan profit tersebut dengan memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menghitung kembali laba fiskal dan menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara pihak yang terdapat hubungan istimewa. Untuk operasionalisasi Pasal 18 ayat (2) dimaksud. diterbitkan SE No.04/PJ.7/1993. Nampaknya Surat Edaran ini merujuk pada Pedoman Transfer Pricing OECD tahun 1979.
Subtansi dalam Surat Edaran tersebut lebih bersifat normatif, sehingga operasionalisasi dalam praktik mengalami kesulitan. Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi dan istrumen pendukung upaya mengatasi transfer pricing di Indonesia masih langka. Data pembanding harga, biaya dan laba kotor dari dunia perdagangan, industri dan sektor lainya sulit didapatkan. Sehingga kebanyakan koreksi dari pemeriksaan atas transfer pricing dengan mudah dapat dipatahkan oleh wajib pajak di Pengadilan Pajak.
Komplikasi praktik
Untuk menggambarkan kompleksitas rekayasa penghindaran pajak dengan transfer pricing di bawah ini diberikan contoh ilustratif. X Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Malaysia, Hong Kong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan dari X Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hong Kong dan dari Hong Kong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US$100, dari Hong Kong ke Singapura dihitung US$200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US$300. Di Indonesia dijual dengan US$400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US$300.
Dengan transfer pricing laba tersebut dialokasikan ke Jepang, Hong Kong, Singapura dan Indonesia. Padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya saja yang mampir-mampir. Karena perusahaan Indonesia dianggap memakai jasa broker Trading House Singapura, maka harus membayar komisi US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman dari grup dengan bunga 15% atau US$45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal US$5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US$30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US$25.
Dari contoh tersebut akhirnya muncul keanehan (anomali), yaitu bahwa grup untung sekurang-kurangnya US$300, yang diperoleh dari penjualan barang yang dibeli oleh orang Indonesia tetapi perusahaan di Indonesia malah menderita rugi US$25. Indonesia tidak dapat memungut pajak penghasilan dari perusahaan yang merugi tersebut. Dengan rekayasa transfer pricing, Indonesia tidak mendapat alokasi laba padahal laba grup tidak akan ada kalau barang tersebut tidak rekayasa semuanya itu dibeli oleh orang Indonesia. Karena dilakukan di luar Indonesia, pemeriksa pajak tidak punya akses data ke sana. Ini merupakan masalah yang pelik untuk pembuktiannya.
Single document
Karena sesuatunya sudah diatur secara rapi dan canggih secara formal (on paper) pemeriksa akan kesulitan untuk melakukan koreksi rekayasa tersebut. Untuk memperkirakan arm's length profit dari perusahaan Indonesia, umumnya pemeriksa memberlakukan metode resale price (harga jual minus). Kendala dari metode ini adalah tidak mudahnya mendapatkan data laba kotor yang wajar. Apalagi menyangkut bukti dokumen yang berada di luar yurisdiksi Indonesia. Tentu akan dengan mudah koreksi transfer price dipatahkan oleh wajib pajak.
Hukum pajak adalah hukum material yang dapat mengesampingkan bukti formal Masalahnya ialah bagaimana membawa yang material itu ke dalam yang formal sehingga mempermudah pembuktian. Apakah dengan single document system seperti digagas dalam Asean Single Window (ASW) bisa menjembatani hal ini. Dalam transaksi ekspor-impor, subtansi transaksi penyerahan barangnya hanya satu melibatkan dua pihak eksportir dan importir di kedua negara. Dalam single document system ini kepabeanan dari Singapura dan Indonesia akan menjalin kerja sama untuk menyediakan satu dokumen saja yang diisi untuk kepentingan eksportir Singapura dan importir Indonesia karena informasinya sama. Nampaknya dengan kerja sama demikian, praktik perdagangan tidak fair, seperti over pricing biaya (atau under pricing penghasilan) mungkin dapat tereliminasi.
Apalagi kalau single document system ini dilengkapi dengan pertukaran data manifes secara online. Namun, dalam kasus di atas harus diingat secara fisik barang dikirim langsung dari Jepang ke Indonesia. Karena fisik barang tidak berasal dari Singapura tentu manifes juga tidak dari Singapura tetapi dari Jepang langsung ke Indonesia. Kalau dengan semangat kerja sama antarnegara, dalam sistem single document, karena dokumen berasal dari Hong Kong maka Singapura akan menunjuk balik ke Hong Kong.
Seterusnya karena dokumen berasal dari Jepang, Hong Kong merujuk balik ke Jepang dan akan berakhir dengan single dokumen diisi oleh Jepang dan Indonesia sesuai dengan arus fisik barang.
Dengan dokumen tunggal, Indonesia dan Jepang tahu bahwa barang yang diproduksi di Jepang itu dijual di Indonesia dengan harga US$400. Kalau konsisten untuk mengakui harga di sana adalah US$100, berarti Indonesia dapat mengenakan pajak atas laba US$300. Namun yang menjadi pertanyaan apakah Singapura dan Hong Kong mau mengesampingkan kepentingan mereka demi berjalannya kerja sama regional dalam sistem dokumen tunggal? Atau bisa jadi untuk melindungi kepentingan negara mereka, Hong Kong dan Singapura meminta agar kapal pengangkut barang dari Jepang ke Indonesia mampir di Hong Kong dan kemudian ke Singapura sehingga bisa membuat manifes? Kalau demikian yang dilakukan tentu transfer pricing tidak akan terselesaikan dengan sistem single document karena masih rentan rekayasa.
Selain itu, apabila rekayasa transfer pricing atas barang fisik dapat diatasi dengan single document bagaimana dengan rekayasa pinjaman finansial dengan bunga tinggi dan rekayasa jasa untuk menerbangkan laba dan dana dari Indonesia?
Oleh Gunadi
Guru Besar Perpajakan FISIP UI
Langganan:
Postingan (Atom)
EMHA I CONSULTING
Bagi para Wajib Pajak yang membutuhkan konsultan untuk penghitungan, penyetoran & pelaporan kewajiban perpajakan (PPh Pasal 21,22,23,25,26,29 dan PPN/PPnBM)kami siap membantu anda. Hubungi kami di hp 081218179462 atau 08886613619 atau email kami MH.Iskandar@gmail.com