Pasal 32 Ayat (3) memberikan landasan hukum tentang kuasa di mana orang pribadi atau badan sebagai Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban. Ketentuan ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dasar hukum lainnya adalah Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007.
Sementara itu, Pasal 32 Ayat (3a) menyatakan bahwa persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk mengatur ini Menteri Keuangan sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008.
Siapa Yang Bisa Menjadi Kuasa?
Seorang kuasa bisa berupa konsultan pajak maupun bukan konsultan pajak. Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang konsultan pajak adalah :
1. Menguasai ketentuan perpajakan
2. Memiliki surat kuasa khusus dari Pemberi kuasa
3. Memiliki NPWP
4. Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak terakhir
5. Tidak pernah dipidana dalam bidang perpajakan
Surat kuasa khusus paling tidak harus memuat hal-hal sebagai berikut :
1. nama, alamat dan tandatangan di atas materei serta NPWP pemberi kuasa
2. nama, alamat dan tandatangan serta NPWP penerima kuasa
3. hak dan kewajiban pajak tertentu yang dikuasakan
Kuasa yang diterima tidak dapat dilimpahkan lagi kepada orang lain. Dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau pegawainya untuk menyampaikan atau menerima dokumen perpajakan tertentu kepada dan/atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Orang lain atau pegawai yang ditunjuk harus menunjukkan surat penunjukkan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan tugasnya.
Hak dan/atau Kewajiban Pajak Tertentu
Seperti diuraikan di atas, suatu surat kuasa khusus harus menyebutkan hak dan/atau kewajiban tertentu. Dengan demikian, satu surat kuasa harus spesifik menyebutkan suatu urusan perpajakan dan surat kuasa tidak bisa bersifat umum. Dengan kata lain, satu surat kuasa untuk satu urusan perpajakan tertentu. Misal surat kuasa khusus penandatanganan SPT Tahunan PPh Badan, surat kuasa khusus pengajuan keberatan dan lain-lain.
Syarat Kompetensi
Salah satu syarat untuk menjadi kuasa adalah menguasai ketentuan perpajakan. Untuk membuktikan kompetensinya seorang kuasa harus munjukkan dokumen dokumen sebagai berikut.
Dalam hal seorang kuasa tersebut bukan konsultan pajak, syarat kompetensi berupa fotocopy sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan dari PTN atau PTS yang terakreditasi A dengan jenjang pendidikan minimal adalah Diploma III.
Dalam hal seorang kuasa adalah konsultan pajak, syarat kompetensi adalah berupa kepemilikan surat ijin praktek konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. Fotocopy surat ijin praktek ini harus diserahkan dilengkapi dengan surat pernyataan sebagai konsultan pajak.
Pembatasan Bagi Kuasa Yang Bukan Konsultan Pajak
Seorang yang bukan konsultan pajak, termasuk karyawan, hanya dapat menerima kuasa dari :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan omzet setahun tidak lebih dari Rp1,8 Milyar
3. Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 Milyar setahun
Seorang kuasa yang berstatus sebagai karyawan atau pegawai tetap harus dibuktikan dengan surat pernyataan bermaterei dari Wajib Pajak.
Saat Mulai Berlaku
Saat mulai berlakunya ketentuan-ketentuan di atas adalah tanggal ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 yaitu tanggal 6 Pebruari 2008.
Senin, 02 Juni 2008
Rekayasa Pajak, Konsultan Bisa Dipidana
JAKARTA - Konsultan pajak bakal ikut bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau ketika SPT (Surat Pemberitahuan) diperiksa. Tanggung jawab hukum juga bakal melekat karena konsultan wajib menandatangani SPT jika Wajib Pajak (WP) memberi kuasa kepadanya.
Pansus RUU Ketentuan Umum Perpajakan (DPR) dan pemerintah akhirnya sepakat terhadap materi pasal 4 ayat 3. "Dulu mereka tidak teken, sehingga kami tidak bisa minta tanggung jawab apa-apa. Boleh jadi, WP diajari bayar pajaknya sedikit dengan berbagai macam cara. Dengan cara itu, mereka harus teken supaya kita bisa kejar," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta akhir pekan lalu.
Jengkel akan hal itu, pihaknya bakal mengatur lebih ketat hak dan kewajiban konsultan pajak. Menurut mantan ketua Bapepam-LK tersebut, selama ini pengaturannya terlalu longgar. "Saat ini, kewajibannya hanya melaporkan siapa saja kliennya. Apa benar hanya itu (kliennya), kami tidak tahu," ujarnya.
Kata Darmin, konsultan pajak tidak cukup hanya diatur melalui Perdirjen. "Harusnya di atas itu," imbuhnya. Dia mengambil contoh akuntan publik yang hak dan kewajibannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan undang-undang. Dengan begitu, jika akuntan publik terbukti ikut merekayasa atau membohongi laporan keuangan, bisa dipidana. Aturan tegas inilah yang selama ini belum menyentuh konsultan pajak.
Setidaknya, mesti ada PMK yang mengatur tentang hal itu. "Kami sedang menyiapkan aturan pemberesan untuk itu. Sebab, kami juga menyadari betul bahwa tidak boleh terlalu longgar. Harus ada tanggung jawab yang jelas dari konsultan pajak," katanya.
Aturan tersebut, kata Darmin, setidaknya memuat ketentuan ketika konsultan memberikan konsultasi, apa saja yang harus dipatuhi. Selain itu, juga apa yang tidak boleh dilakukan. "Harus ada aturan seperti itu, kalau dia melanggar apa hukumannya. Walaupun kalau PMK tidak mungkin pidana, hukumannya pasti administratif. Yakni apakah itu pembekuan atau pencabutan izin," ujarnya. (sof)
Pansus RUU Ketentuan Umum Perpajakan (DPR) dan pemerintah akhirnya sepakat terhadap materi pasal 4 ayat 3. "Dulu mereka tidak teken, sehingga kami tidak bisa minta tanggung jawab apa-apa. Boleh jadi, WP diajari bayar pajaknya sedikit dengan berbagai macam cara. Dengan cara itu, mereka harus teken supaya kita bisa kejar," kata Dirjen Pajak Darmin Nasution di Jakarta akhir pekan lalu.
Jengkel akan hal itu, pihaknya bakal mengatur lebih ketat hak dan kewajiban konsultan pajak. Menurut mantan ketua Bapepam-LK tersebut, selama ini pengaturannya terlalu longgar. "Saat ini, kewajibannya hanya melaporkan siapa saja kliennya. Apa benar hanya itu (kliennya), kami tidak tahu," ujarnya.
Kata Darmin, konsultan pajak tidak cukup hanya diatur melalui Perdirjen. "Harusnya di atas itu," imbuhnya. Dia mengambil contoh akuntan publik yang hak dan kewajibannya telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan undang-undang. Dengan begitu, jika akuntan publik terbukti ikut merekayasa atau membohongi laporan keuangan, bisa dipidana. Aturan tegas inilah yang selama ini belum menyentuh konsultan pajak.
Setidaknya, mesti ada PMK yang mengatur tentang hal itu. "Kami sedang menyiapkan aturan pemberesan untuk itu. Sebab, kami juga menyadari betul bahwa tidak boleh terlalu longgar. Harus ada tanggung jawab yang jelas dari konsultan pajak," katanya.
Aturan tersebut, kata Darmin, setidaknya memuat ketentuan ketika konsultan memberikan konsultasi, apa saja yang harus dipatuhi. Selain itu, juga apa yang tidak boleh dilakukan. "Harus ada aturan seperti itu, kalau dia melanggar apa hukumannya. Walaupun kalau PMK tidak mungkin pidana, hukumannya pasti administratif. Yakni apakah itu pembekuan atau pencabutan izin," ujarnya. (sof)
Darmin Nasution, Kami Sedang Membangun Fondasi PDF
Direktorat Jenderal Pajak dibebani tugas cukup berat. Tahun ini harus bisa mendapatkan pemasukan pajak Rp Rp 534 triliun.
Bukan tugas mudah, memang. Bagaimana upaya dan strategi lembaga ini memenuhi target itu, berikut ini petikan perbincangan Koran Tempo dengan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution saat bertandang ke redaksi Koran Tempo pada Rabu lalu.
Apa upaya Anda untuk menggenjot penerimaan pajak?
Selama beberapa tahun terakhir, ada pekerjaan besar dan perubahan drastis yang kami lakukan. Pertama, percepatan administrasi perpajakan dan metode kerja. Secara .umum kami sebut modernisasiadministrasi perpajakan. Kedua, mengubah kebijakan yang lebih luas. Itu tergambar tidak hanya dalam aturan pelaksanaan, tapi juga amendemen Undang-Undang pajak, yang mengandung perubahan sangat fundamental.
Misalnya, citra yang sering dilontarkan oleh publik kepada aparat pajak adalah kami sering dianggap semena-mena, ngancam-ngancam orang. Itu bisa terjadi karena Undang-Undang Pajak lama memang memberi kewenangan dan power besar kepada aparat pajak. Sekarang itu sudah berubah menjadi lebih seimbang. Hak dan kewajiban wajib pajak diseimbangkan dengan hak dan kewajiban aparat pajak.
Ketiga, kami juga melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Harus diakui, sudah setengah abad republik ini berdiri, jumlah wajib pajak yang punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi baru kira-kira 5 juta. Dari jumlah itu, yang memasukkan surat pajak terutang hanya 35-40 persen dari yang punya NPWP. Padahal penduduk kita 220 juta lebih atau, kalau dengan pendekatan keluarga, kira-kira ada 55 juta keluarga. Jadi memang jauh. Nah, itulah yang membuat kami harus me-ne-view kembali metode dan cara kerja-
Bisa dijelaskan kembali soal powerful-nya aparat pajak?
Selama ini harus kami akui aparat pajak memang banyak yang macam-macam. Kami punya tenaga fungsional, tapi prakteknya tidak cukup, sehingga memberdayakan tenaga lain. Akibatnya, metode yang dipakai macam-macam. Mereka juga tak tahu apa yang dilakukan. Jelas potensial sekali penyim-pangannya karena tidak bisa dimonitor. Kantor pajak ini hebatnya adalah mencegat uang setoran yang masuk sebelum masuk negara. Di departemen lain kan pengeluaran yang diurusi. Nah, ini memunculkan potensi terjadinya kongkalikong dari aparat pajak, sehingga uang tidak masuk menjadi uang negara.
Lalu apa yang dilakukan?
Itu semua kami ubah sampai ke titik persoalannya. Kami ini kan bekerja dengan darah hidup dari data wajib pajak. Kami tidak bisa bekerja tanpa budaya merekam laporan wajib pajak. Selama ini sudah direkam tapi kurang baik. Ada yang hilang, ada yang tidak lengkap, sehingga tidak ada evaluasi yang tajam. Jadi persoalan dasar itu sekarang kami benahi. Kami sudah memulainya sejak 2006.
Bagaimana hasilnya?
Saya sering dicaci maki, dikritik penerimaan nggak naiklah. Tapi ka-mi sabar saja. Yang penting sekarang kami terus membangun fondasi. Terus terang saja, strategi ini agak nekat. Kami berani menerima risiko dituding tidak baik penerimaannya, tapi nanti fondasi untuk menggenjot (penerimaan pajak lebih tinggi) bisa kuat.
Fondasinya sudah selesai belum?
Belum selesai. Saya pikir untuk fondasi paling dasar baru tahun depan. Walaupun begitu, penerimaannya sudah baik sekali. Artinya, upaya yang dilakukan pada 2006 sampai 2007 sudah mulai terlihat. Bukan hanya persoalan budaya kerja dan infrastruktur mulai membaik, penerimaan pajak juga jauh membaik.
Pada 2000-2001, penerimaan masih di bawah Rp 200 triliun. Pada 2003-2005, dipatok Rp 200 triliun, tapi penerimaan bisa mendekati Rp 300 triliun. Pada 2006, sudah Rp 300 triliunan dan 2007 mencapai Rp 400 triliun. Tahun ini target pajak Rp 500 triliunan (termasuk minyak dan gas). Itu artinya penerimaan pajak harus bisa Rp 1,5 triliun setiap hari, termasuk hari libur.
Kira-kira akan tercapai?
Kelihatannya malah terlampaui. Mari kita lihat, sampai April 2008, dari target Rp 143 tribun, realisasinya sudah Rp 151,3 triliun. Berarti 5,2 persen di atas target. Jika termasuk migas, targetnya Rp 155,3 triliun, tapi realisasinya sudah Rp 173,6 triliun, yang berarti dibanding realisasi Januari-April tahun lalu naik 44,9 persen dan 11,7 persen di atas target. Nah, kita belum pernah menikmati kenaikan realsisasi penerimaan 40 persen sepanjang sejarah republik ini. Akan kami coba pertahankan tren kenaikan ini sampai akhir tahun. Kalau itu bisa, target akan terlampaui jauh. Artinya apa ini? Kesabaran untuk pembenahan dan pembentukan fondasi di pada 2006 dan 2007 mulai kelihatan hasilnya, termasuk dalam soal penerimaan. Guwjnn es
Sumber : Koran Tempo
Bukan tugas mudah, memang. Bagaimana upaya dan strategi lembaga ini memenuhi target itu, berikut ini petikan perbincangan Koran Tempo dengan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution saat bertandang ke redaksi Koran Tempo pada Rabu lalu.
Apa upaya Anda untuk menggenjot penerimaan pajak?
Selama beberapa tahun terakhir, ada pekerjaan besar dan perubahan drastis yang kami lakukan. Pertama, percepatan administrasi perpajakan dan metode kerja. Secara .umum kami sebut modernisasiadministrasi perpajakan. Kedua, mengubah kebijakan yang lebih luas. Itu tergambar tidak hanya dalam aturan pelaksanaan, tapi juga amendemen Undang-Undang pajak, yang mengandung perubahan sangat fundamental.
Misalnya, citra yang sering dilontarkan oleh publik kepada aparat pajak adalah kami sering dianggap semena-mena, ngancam-ngancam orang. Itu bisa terjadi karena Undang-Undang Pajak lama memang memberi kewenangan dan power besar kepada aparat pajak. Sekarang itu sudah berubah menjadi lebih seimbang. Hak dan kewajiban wajib pajak diseimbangkan dengan hak dan kewajiban aparat pajak.
Ketiga, kami juga melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan. Harus diakui, sudah setengah abad republik ini berdiri, jumlah wajib pajak yang punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi baru kira-kira 5 juta. Dari jumlah itu, yang memasukkan surat pajak terutang hanya 35-40 persen dari yang punya NPWP. Padahal penduduk kita 220 juta lebih atau, kalau dengan pendekatan keluarga, kira-kira ada 55 juta keluarga. Jadi memang jauh. Nah, itulah yang membuat kami harus me-ne-view kembali metode dan cara kerja-
Bisa dijelaskan kembali soal powerful-nya aparat pajak?
Selama ini harus kami akui aparat pajak memang banyak yang macam-macam. Kami punya tenaga fungsional, tapi prakteknya tidak cukup, sehingga memberdayakan tenaga lain. Akibatnya, metode yang dipakai macam-macam. Mereka juga tak tahu apa yang dilakukan. Jelas potensial sekali penyim-pangannya karena tidak bisa dimonitor. Kantor pajak ini hebatnya adalah mencegat uang setoran yang masuk sebelum masuk negara. Di departemen lain kan pengeluaran yang diurusi. Nah, ini memunculkan potensi terjadinya kongkalikong dari aparat pajak, sehingga uang tidak masuk menjadi uang negara.
Lalu apa yang dilakukan?
Itu semua kami ubah sampai ke titik persoalannya. Kami ini kan bekerja dengan darah hidup dari data wajib pajak. Kami tidak bisa bekerja tanpa budaya merekam laporan wajib pajak. Selama ini sudah direkam tapi kurang baik. Ada yang hilang, ada yang tidak lengkap, sehingga tidak ada evaluasi yang tajam. Jadi persoalan dasar itu sekarang kami benahi. Kami sudah memulainya sejak 2006.
Bagaimana hasilnya?
Saya sering dicaci maki, dikritik penerimaan nggak naiklah. Tapi ka-mi sabar saja. Yang penting sekarang kami terus membangun fondasi. Terus terang saja, strategi ini agak nekat. Kami berani menerima risiko dituding tidak baik penerimaannya, tapi nanti fondasi untuk menggenjot (penerimaan pajak lebih tinggi) bisa kuat.
Fondasinya sudah selesai belum?
Belum selesai. Saya pikir untuk fondasi paling dasar baru tahun depan. Walaupun begitu, penerimaannya sudah baik sekali. Artinya, upaya yang dilakukan pada 2006 sampai 2007 sudah mulai terlihat. Bukan hanya persoalan budaya kerja dan infrastruktur mulai membaik, penerimaan pajak juga jauh membaik.
Pada 2000-2001, penerimaan masih di bawah Rp 200 triliun. Pada 2003-2005, dipatok Rp 200 triliun, tapi penerimaan bisa mendekati Rp 300 triliun. Pada 2006, sudah Rp 300 triliunan dan 2007 mencapai Rp 400 triliun. Tahun ini target pajak Rp 500 triliunan (termasuk minyak dan gas). Itu artinya penerimaan pajak harus bisa Rp 1,5 triliun setiap hari, termasuk hari libur.
Kira-kira akan tercapai?
Kelihatannya malah terlampaui. Mari kita lihat, sampai April 2008, dari target Rp 143 tribun, realisasinya sudah Rp 151,3 triliun. Berarti 5,2 persen di atas target. Jika termasuk migas, targetnya Rp 155,3 triliun, tapi realisasinya sudah Rp 173,6 triliun, yang berarti dibanding realisasi Januari-April tahun lalu naik 44,9 persen dan 11,7 persen di atas target. Nah, kita belum pernah menikmati kenaikan realsisasi penerimaan 40 persen sepanjang sejarah republik ini. Akan kami coba pertahankan tren kenaikan ini sampai akhir tahun. Kalau itu bisa, target akan terlampaui jauh. Artinya apa ini? Kesabaran untuk pembenahan dan pembentukan fondasi di pada 2006 dan 2007 mulai kelihatan hasilnya, termasuk dalam soal penerimaan. Guwjnn es
Sumber : Koran Tempo
Jenis Pajak
1 Bea Materai (BM)
2 Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3 Pajak Bumi Dan Bangunan(PBB)
4 Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah(PPNBM)
5 Pajak Penghasilan (PPh)
2 Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3 Pajak Bumi Dan Bangunan(PBB)
4 Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah(PPNBM)
5 Pajak Penghasilan (PPh)
Langganan:
Postingan (Atom)
Bagi para Wajib Pajak yang membutuhkan konsultan untuk penghitungan, penyetoran & pelaporan kewajiban perpajakan (PPh Pasal 21,22,23,25,26,29 dan PPN/PPnBM)kami siap membantu anda. Hubungi kami di hp 081218179462 atau 08886613619 atau email kami MH.Iskandar@gmail.com